Fakta hukum di atas mengonfirmasi, sekalipun instrumen peraturan telah disediakan sedemikian rupa, ia ternyata mandul. Akibatnya, praktik politik uang terus terjadi tanpa penanganan yang memadai bagi sebuah pilkada yang adil.
Pada gilirannya, regulasi justru melanggengkan adanya pelanggaran tanpa hukuman atau impunitas dalam pilkada serentak 15 Februari 2017.
Membuka diri
Rantai impunitas dalam kontestasi pilkada tentu harus diputus. Hanya saja, pada mata rantai mana langkah itu mesti dimulai? Ketika pemungutan suara pilkada selesai dilakukan, Bawaslu provinsi tidak lagi dapat berperan untuk menghukum pasangan calon pelaku politik uang.
MK juga telah secara ketat membatasi dirinya hanya akan memeriksa sengketa hasil pilkada dengan selisih suara tak lebih dari 2 persen sesuai ketentuan Pasal 158 UU Pilkada. Sikap MK didasarkan alasan bahwa kewenangan penyelesaian sengketa pilkada hanya wewenang tambahan yang bersifat non-permanen dan transisional.
Dalam kondisi semua jalan sudah tertutup, sebagai penjaga konstitusi dan pengawal hak-hak konstitusional warga negara, MK seharusnya membuka diri untuk memberikan solusi. Pintu keadilan bagi peserta pilkada tidak boleh ditutup hanya sekadar mengikuti restriksi yang ada.
Alasan bahwa penyelesaian sengketa pilkada hanyalah kewenangan sementara dan transisional pun tidak tepat lagi dipertahankan. Sebab, kesementaraan wewenang tidak dapat mengesampingkan tugas pelaku kekuasaan kehakiman untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Atas pertimbangan itu, sudah selayaknya ambang batas selisih suara tidak diterapkan secara kaku. Dalam arti, signifikansi selisih suara dalam Pasal 156 dan persentase jarak perolehan suara menurut Pasal 158 UU Pilkada cukup diadopsi secara relatif.
Caranya, syarat selisih suara hanya diterapkan setelah pemeriksaan dalil dan bukti-bukti politik uang dilakukan dalam persidangan. Dengan begitu, sebelum suatu permohonan dinyatakan tidak memenuhi syarat, pemeriksaan terhadap signifikansi selisih perolehan suara sudah dilakukan lebih dahulu.
Dalam konteks itu, langkah yang perlu diambil MK hanyalah menggeser waktu pengambilan keputusan terhadap keterpenuhan syarat selisih suara, di mana kontestan yang merasa dicurangi diberi kesempatan membuktikan signifikan atau tidaknya praktik politik uang terhadap hasil yang diperoleh peraih suara terbanyak. Saat alat bukti mengonfirmasi bahwa politik uang menyertai kemenangan pasangan calon, demi keadilan, MK mesti mengesampingkan syarat selisih suara untuk kasus itu.
Sebaliknya, apabila tidak didukung bukti-bukti meyakinkan, bersamaan dengan putusan akhir, MK kemudian menyatakan suatu permohonan tidak dapat diterima. Inilah kiranya jalan tengah antara sikap yang telah diambil MK sebelumnya dan perkembangan yang terjadi sepanjang Pilkada 2017.
Dalam praktik hukum acara penyelesaian sengketa, langkah itu dapat dibenarkan. Sebagai rujukan, dalam penyelesaian sengketa di peradilan umum, hal-hal menyangkut syarat formal gugatan selain kompetensi absolut hampir selalu diputus bersamaan dengan putusan akhir. Mengapa MK tidak coba menerapkan hal yang sama dalam menyelesaikan sengketa Pilkada 2017 yang mulai bergulir pekan ini?
Bukankah selisih suara hanya sebuah syarat formal? Sementara yang hendak dituju dalam penyelesaian sengketa hasil adalah terwujudnya keadilan pilkada, termasuk dengan jalan memutus impunitas politik uang.
Khairul Fahmi
Dosen HTN, Peneliti Pemilu Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Maret 2017, di halaman 7 dengan judul "Menyelamatkan Keadilan Pilkada"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.