JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah daerah disebut memiliki andil terkait maraknya kasus pelanggaran atas hak kebebasan beragama dan berkeyakinan di sejumlah daerah.
Juru Bicara Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI), Yendra Budiana mengatakan, dalam dua tahun belakangan terdapat sebelas kasus penutupan masjid Ahmadiyah. Sebagian besar penutupan masjid justru diinisiasi oleh pemerintah daerah.
"Kalau dulu dilakukan oleh ormas agama, sekarang justru pemda yang melakukan penutupan masjid kami. Padahal mesjid kami punya IMB. SKB (Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri) pun tidak melarang kegiatan Ahmadiyah," ujar Yendra saat berbicara di di Kongres Nasional Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Balai Kartini, Jakarta Selatan, Kamis (16/3/2017).
Selain penutupan rumah ibadah, pelanggaran atas hak sipil juga dialami oleh 116 jemaah Ahmadiyah yang berada di Permukiman Wisma Transito di Kelurahan Majeluk, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Mereka adalah jemaah Ahmadiyah yang bermukim di Ketapang, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, korban perusakan dan pembakaran rumah pada awal 2006.
Sampai saat ini, kata Yendra, pemerintah belum merealisasikan kebijakan yang berpihak pada mereka. Sementara selama di pengungsian, warga Ahmadiyah tidak memiliki akses terhadap kesehatan yang memadai.
"Padahal akhirnya kami mengalah, kami sudah menyatakan siap untuk direlokasi," ucapnya.
Persoalan lain dialami warga Ahmadiyah di Kuningan, Jawa Barat. Sebanyak 1.600 orang belum memiliki KTP oleh pemerintah daerah.
Akibatnya mereka sulit mengakses layanan publik dan pernikahan mereka tidak bisa dicatatkan.
"Seharusnya Presiden Joko Widodo bertemu dengan kelompok minoritas seperti kami sebagai simbol bahwa Presiden Jokowi adalah presiden bagi semua golongan," kata Yendra.
(Baca: Jemaah Ahmadiyah: Kami Belum Sepenuhnya Merdeka)
Lain Ahmadiyah, lain pula kekerasan yang dialami oleh warga eks Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar).
Agus Setiawan, juru bicara Gafatar, mengatakan bahwa pasca-pengusiran warga eks Gafatar dari Mempawah pada awal 2016 lalu, Pemda Kalimantan Barat tidak mau menerima kembali warga eks Gafatar yang ingin tinggal di sana.
Permintaan dialog dengan pihak Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang pernah mengeluarkan fatwa haram dan aparat pemerintah tidak pernah digubris.
"Fatwa MUI pusat dan SKB Tiga Menteri yang menjadi alasan Pemda Kalbar," tutur Agus.
(Baca juga: Pelarangan Kemerdekaan Beragama dan Berkeyakinan Sepanjang 2016 Meningkat)
Pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan beribadah juga dialami oleh umat Muslim di Denpasar, Bali, pada Mei 2008. Sebagian kelompok masyarakat melarang pembangunan mushala As-Syafiiyah di Kota Denpasar.
Ketua pengurus mushala, Haji Eko mengatakan, hingga saat ini belum ada respons dari pemerintah daerah terkait pengusiran dan penyegelan mushala As Syafiiyah.
"Kami hanya ingin diizinkan beribadah. Sudah sembilan tahun belum ada titik terang," ujarnya.
(Baca juga: Pelanggaran Kebebasan Beragama terhadap Minoritas Masih Tinggi)
Kondisi serupa juga dialami oleh umat Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia Bekasi.
Perwakilan majelis gereja, Pasauran Siahaan mengungkapkan, selama hampir 16 tahun jemaat Filadelfia belum bisa beribadah dengan tenang, sementara Izin Mendirikan Bangunan (IMB) gereja sudah mereka kantongi.
"Izin sudah ada, tapi kami masih menggelar ibadah di depan Istana Negara dua minggu sekali," kata Pasauran.
Pasauran menilai pemerintah daerah tidak memiliki niat baik untuk menyelesaikan polemik yang dialami jemaat Filadelfia. Pasalnya, Pemda terkesan melakukan pembiaran terhadap sekelompok masyarakat dari luar wilayah Bekasi yang menolak pembangunan gereja.
"Mereka cuek saja. Kami berharap ada intervensi untuk mencegah kelompok intoleran. Kami pun Sudah minta segel dibuka ke Bupati tapi tidak ada tanggapan," kata dia.