Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gerakan Murka dalam Demokrasi

Kompas.com - 02/03/2017, 19:53 WIB

Para populis dilambungkan oleh keyakinan bahwa rakyat, kerumunan yang turun ke jalan, lebih baik daripada elite pemerintah dan elite politis telah mengkhianati rakyat. Mereka menebar sentimen anti partai dan membenci politik perwakilan. Musuh besarnya adalah elitisme dan pluralisme. Para pemimpin populis, seperti Trump di Amerika, Le Pen di Perancis, Lutz Bachmann di Jerman, Geert Wilders di Belanda, berfungsi sebagai ego-ideal para pengikut mereka.

Dalam personalisasi politik itu, jarak antara para pengikut dan sang pemimpin nyaris raib bersamaan dengan ditangguhkannya daya kritis mereka.

Populisme tak suka intermediasi negara hukum dan condong menerjang prosedur demi tujuan-tujuan mereka. Jika dibiarkan, kerumunan dapat mendikte pemerintah atau pengadilan. Terjadilah mobokrasi atau—memakai ilustrasi Plato—kooptasi kepala oleh selangkangan.

Ada alasan yang perlu diperhitungkan mengapa populisme menerjang prosedur. Prosedur mapan, seperti mekanisme undang-undang dan peradilan, dianggap sebagai alat kepentingan elite belaka. Populisme lahir dari rahim ketimpangan sosial, alienasi politis, dan ketidakpercayaan pada elite politis. Gerakan murka boleh dikatakan sedang mempertontonkan problem sosial yang selama ini ditutupi: demokrasi telah dibajak para oligark.

Dari mulut para demagognya disemburkan narasi tentang luka-luka rakyat, tentang ancaman Islamisasi Barat, atau— di Indonesia—tentang nyeri kolektif akibat penodaan agama. Dalam murkanya terhadap kemapanan (establishment), kerumunan lupa bahwa para pemimpin mereka juga merupakan bagian dari oportunisme politis yang mereka lawan. Massa tak lebih dari perkakas para oligark yang telah lama bercokol dan ingin menjaga aset mereka.

Populisme bukanlah solusi atas problem sosial, melainkan simtom dari penyakit sosial. Gerakan ini menyiratkan lemahnya fungsi pemerintahan demokratis dan masih tangguhnya cengkeraman oligarki. Baginya mangsa paling empuk adalah demokrasi elektoral karena pada saat suksesi kuasa berlangsung, dana sangat besar digelontorkan dan mekanisme hukum melemah.

Populisme kanan tidak memperkuat demokrasi. Sebaliknya, karena tak mengindahkan prosedur, ia justru mendestabilisasi mekanisme demokratis dan mengancam keutuhan nasional. Nafsu tak dapat bersanding dengan argumen. Begitu juga populisme bukanlah pasangan ideal bagi demokrasi.

Menimbang populisme

Sebagai gerakan oposisional, populisme kanan mengancam negara hukum demokratis dari dua sisi. Pada sisi sistem politis, gerakan ini mendestabilisasi negara hukum karena dapat menekan parlemen, mendikte pemerintah, atau mengancam pengadilan dan polisi. Pada sisi masyarakat, warga mereka meracuni ruang-ruang publik dengan ressentiment (kebencian atau sikap permusuhan) dan ujaran-ujaran kebencian terhadap elite, minoritas, ataupun para pendatang.

Dalam masyarakat kita, populisme muncul dari kasus penodaan agama yang didakwakan kepada Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Pemerintah membendung gerakan ini dengan memperkuat kedua sisi tersebut. Pada sisi sistemis pemerintah tegas membela rasionalitas prosedur demokratis dengan melakukan tindakan hukum kepada para provokator dan juga mereka yang diduga terlibat rencana makar dalam Aksi 212.

Pada sisi masyarakat madani (civil society), pemerintah membersihkan kanal-kanal komunikasi publik dengan melakukan konsolidasi nasional dengan kelompok-kelompok masyarakat dan militer serta dengan mengendalikan hoaks dalam media-media sosial.

Di beberapa negara, seperti Austria, Italia, dan Jerman, populisme berhasil meraih sosok formalnya dan menjadi partai politis. Intimitas dan pengkhianatan atas demokrasi yang melekat pada populisme menyebabkan kesulitan baginya sendiri ketika gerakan ini menjadi partai dan menduduki sistem pemerintahan.

Pertama, koalisi partai-partai konservatif kanan tidak dapat rukun saat berada dalam sistem pemerintahan; mereka secara ideologis bertikai satu sama lain. Kedua, ruang bertindak partai-partai kanan dibatasi oleh administrasi politis harian sehingga jurang antara janji-janji kampanye dan kenyataan makin lebar. Dusta menjadi keniscayaan politis. Ketiga, partai-partai kanan juga harus tunduk pada mekanisme parlementer, padahal mereka cenderung menolak mediasi.

Gerakan murka yang menurut kodratnya oposisional, jika menduduki pemerintahan, terancam untuk gagal. Wajah ganda gerakan anti partai sekaligus partai anti partai membuat partai populis dilihat entah sebagai mitra yang mencurigakan atau sebagai wakil establishment.

Jadi, mengingat kembali perkataan Kant di atas, hanya lewat lembaga perkawinan nafsu dikenyangkan. Begitu juga, hanya lewat prosedur negara hukum demokratis kekuasaan menjadi rasional. Populisme bukan pasangan ideal demokrasi. Jika dipaksakan, demokrasi populis tak lebih daripada ”perkawinan tak bahagia” yang penuh kegalauan nafsu dan perselingkuhan.

F Budi Hardiman,
Pengajar Filsafat Politik di STF Driyarkara
---
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 Maret 2017, di halaman 6 dengan judul "Gerakan Murka dalam Demokrasi".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Dukung Program Prabowo-Gibran, Partai Buruh Minta Perppu Cipta Kerja Diterbitkan

Dukung Program Prabowo-Gibran, Partai Buruh Minta Perppu Cipta Kerja Diterbitkan

Nasional
Sidang Gugatan PDI-P Kontra KPU di PTUN Digelar Tertutup

Sidang Gugatan PDI-P Kontra KPU di PTUN Digelar Tertutup

Nasional
Hakim MK Berang KPU Tak Hadiri Sidang Sengketa Pileg, Tuding Tak Pernah Serius sejak Pilpres

Hakim MK Berang KPU Tak Hadiri Sidang Sengketa Pileg, Tuding Tak Pernah Serius sejak Pilpres

Nasional
PTUN Gelar Sidang Perdana PDI-P Kontra KPU Hari Ini

PTUN Gelar Sidang Perdana PDI-P Kontra KPU Hari Ini

Nasional
Profil Andi Gani, Tokoh Buruh yang Dekat dengan Jokowi Kini Jadi Staf Khusus Kapolri

Profil Andi Gani, Tokoh Buruh yang Dekat dengan Jokowi Kini Jadi Staf Khusus Kapolri

Nasional
Timnas Lawan Irak Malam Ini, Jokowi Harap Indonesia Menang

Timnas Lawan Irak Malam Ini, Jokowi Harap Indonesia Menang

Nasional
Peringati Hardiknas, KSP: Jangan Ada Lagi Cerita Guru Terjerat Pinjol

Peringati Hardiknas, KSP: Jangan Ada Lagi Cerita Guru Terjerat Pinjol

Nasional
Kekerasan Aparat dalam Peringatan Hari Buruh, Kontras Minta Kapolri Turun Tangan

Kekerasan Aparat dalam Peringatan Hari Buruh, Kontras Minta Kapolri Turun Tangan

Nasional
Menag Sebut Jemaah RI Akan Dapat 'Smart Card' Haji dari Pemerintah Saudi

Menag Sebut Jemaah RI Akan Dapat "Smart Card" Haji dari Pemerintah Saudi

Nasional
Sengketa Pileg, PPP Klaim Ribuan Suara Pindah ke Partai Garuda di Dapil Sumut I-III

Sengketa Pileg, PPP Klaim Ribuan Suara Pindah ke Partai Garuda di Dapil Sumut I-III

Nasional
Temui KSAD, Ketua MPR Dorong Kebutuhan Alutsista TNI AD Terpenuhi Tahun Ini

Temui KSAD, Ketua MPR Dorong Kebutuhan Alutsista TNI AD Terpenuhi Tahun Ini

Nasional
Jokowi Resmikan Bendungan Tiu Suntuk di Sumbawa Barat, Total Anggaran Rp 1,4 Triliun

Jokowi Resmikan Bendungan Tiu Suntuk di Sumbawa Barat, Total Anggaran Rp 1,4 Triliun

Nasional
Meneropong Kabinet Prabowo-Gibran, Menteri 'Triumvirat' dan Keuangan Diprediksi Tak Diisi Politisi

Meneropong Kabinet Prabowo-Gibran, Menteri "Triumvirat" dan Keuangan Diprediksi Tak Diisi Politisi

Nasional
Dewas KPK Gelar Sidang Perdana Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron Hari Ini

Dewas KPK Gelar Sidang Perdana Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron Hari Ini

Nasional
Jokowi Resmikan 40 Kilometer Jalan Inpres Senilai Rp 211 Miliar di NTB

Jokowi Resmikan 40 Kilometer Jalan Inpres Senilai Rp 211 Miliar di NTB

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com