Jika menengok ke belakang, politik aliran Islam ala Clifford Geertz sempat memudar pada beberapa pemilu presiden dan pilkada DKI kali ini justru kembali diuji dalam Pilkada DKI kali ini. Apakah sosok Ahok mengulang kisah serupa Pemilu 1999 dimana saat itu partai Islam tradisional dan modern di Senayan menyatu dalam bungkus sentimen anti Presiden perempuan.
Sayangnya, saat ini, kita tidak dapat mengesampingkan faktor rasionalisme dan sekularisme yang telah membuat garis pemisah antara islam tradisionalis dan modernis menjadi kabur (Liddle, 2003) apalagi tak sedikit warga Jakarta adalah pemilih rasional sehingga sulit menggarap isu agama dalam bingkai emosional yang kuat tanpa terjadi sebuah momentum khusus.
Fakta lain, kedua paslon yang bertarung kali ini bukanlah kader dari partai-partai yang bertarung, kecuali Djarot Saiful Hidayat. Baik Ahok maupun Anies dan Sandi tidak lahir dari rahim ideologis partai, ketiganya bahkan tak ubahnya joki profesional bagi partai-partai pendukungnya.
Apalagi Jakarta yang diberkahi tingginya tingkat pendidikan dan akses informasi bukanlah pemilih dengan ikatan yang cukup kuat dengan partai. Bahkan cenderung, terjadi degradasi kepercayaan publik terhadap partai yang hasilnya menguatkan politik figur.
Survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang dirilis tahun lalu bahkan menunjukkan bahwa partai politik merupakan lembaga negara yang paling tidak dipercaya masyarakat. Banyak janji, minim realisasi.
Bahkan fakta bahwa munculnya Ahok dan Anies yang notabene bukan orang partai merupakan bentuk respon politisi terhadap tingkat frustasi rakyat yang terus tergerus kepercayaan politiknya terhadap partai politik?
Artinya, jika kemudian kita bicara tentang kemana keberpihakan dukungan partai-partai Islam pendukung Agus –Sylvi seperti PAN, PKB dan PPP versi Romi maka pergerakan di tingkat elite politik tidak secara otomatis mencerminkan preferensi konstituennya.
Lihat saja, perolehan suara para paslon Pilgub DKI yang tidak secara tegas mencerminkan preferensi ideologi partai yang seharusnya relatif mirip dengan cluster politik legislator pemenang dalam Pemilihan Legislatif 2014.
Bahkan, jika paslon Anies-Sandi yang mencitrakan diri sebagai antithesis dari paslon Ahok-Djator tidak hati-hati dalam menjual diri dalam artian jika sebelumnya menjual citra santun lalu tiba-tiba terlalu cerewet melontarkan kritik cenderung fantasi, saya khawatir hal itu justru akan memicu timbulnya snob effect.
Dengan bahasa sangat sederhana snob effect adalah kondisi dimana konsumen akan tertarik untuk membeli produk yang ekslusif dan mahal contoh produk-produk high class yang akan diburu karena mendongkrak gengsi, namun akan dijauhi ketika banting harga.
Dalam kondisi tingkat kepercayaan terhadap parpol yang semakin rendah didukung rasionalitas akibat terbukanya akses informasi terhadap seluruh gerak gerik maupun rekam jejak para paslon, saya percaya putaran kedua Pilgub DKI akan kembali mengejutkan serupa Pemilu 2014.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.