Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pilkada Serentak, Pembelajaran Demokrasi

Kompas.com - 13/02/2017, 21:06 WIB

Tiga hari lagi pemilihan kepala daerah serentak 2017 segera dilaksanakan di 101 daerah. Publik kembali diuji untuk memilih kepala daerah yang dapat membawa perubahan. Di balik berbagai pertentangan, keriuhan, dan kemeriahan, pilkada semakin jadi wadah pembelajaran demokrasi publik.

Suhu politik di Tanah Air kian menghangat menjelang perhelatan pilkada serentak 15 Februari mendatang di 7 provinsi, 18 kota, dan 76 kabupaten. Pilkada serentak hadir sebagai sarana untuk menguatkan konsolidasi demokrasi lokal di Indonesia. Setidaknya pilkada bertujuan untuk menciptakan penyelenggaraan pemilu yang efisien dan efektif. Derajat keterwakilan antara masyarakat dan kepala daerahnya juga diharapkan dapat meningkat. Selain itu, diharapkan juga tercipta pemerintahan daerah yang efektif dan efisien.

Tahun 2015 merupakan kali pertama diselenggarakannya pilkada serentak dalam cakupan nasional. Merujuk data Komisi Pemilihan Umum (KPU), dari 269 daerah yang menggelar pilkada serentak dua tahun lalu, terdapat 827 pasangan calon yang bertarung atau rata-rata tiga pasangan calon di setiap daerah. Dari jumlah itu, sebanyak 690 pasangan calon maju dari jalur partai politik dan 137 pasang calon lainnya dari jalur perseorangan. Dibandingkan dengan Pilkada 2010, jumlah seluruh pasangan calon yang berlaga itu jauh lebih rendah. Berdasarkan data Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), pada Pilkada 2010 ada 1.083 pasangan calon bertarung di 244 daerah dengan rata-rata 4,5 pasang calon per daerah.

Tahun 2017, jumlah daerah yang menyelenggarakan pilkada lebih sedikit dibandingkan 2015, hanya 101 daerah dengan jumlah pasangan calon yang berkontestasi sebanyak 310 pasangan atau rata-rata tiga pasangan calon di setiap daerah. Dari jumlah itu, sebanyak 242 pasangan calon maju diusung partai politik dan 68 pasangan calon dari jalur perseorangan.

Tahun ini pula terdapat 16 wilayah dengan jumlah pasangan calon yang berlaga lebih dari enam pasangan calon. Dengan konfigurasi jumlah calon yang berlaga di ajang pilkada terus berubah, bagaimana publik menyikapi peristiwa pilkada serentak kedua yang akan dilaksanakan dua hari ke depan?

Evaluasi dan sosialisasi

Hasil jajak pendapat Kompas yang diselenggarakan pekan lalu menunjukkan, lebih dari separuh responden (62,8 persen) menyatakan puas dengan hasil pilkada serentak 2015. Namun, masih ada 34,3 persen responden yang menyatakan sebaliknya. Saat itu, pilkada diwarnai pergeseran anggaran pilkada yang semula dibebankan pada APBN menjadi beban APBD sehingga membuka konflik kepentingan calon kepala daerah petahana.

Lebih jauh, satu dari dua responden menyatakan mekanisme pilkada telah melahirkan kepala daerah yang sesuai dengan harapan. Namun, proporsi yang menyatakan sebaliknya pun tidak sedikit. Hampir separuh bagian responden (46,6 persen) mengakui bahwa mekanisme pemilihan kepala daerah selama ini belum maksimal melahirkan kepala daerah yang berkualitas. Alih-alih bekerja keras bagi perubahan wilayahnya, beberapa kepala daerah hasil Pilkada 2015 harus terjerat kasus hukum, baik kasus narkoba maupun korupsi, tak lama setelah memenangi kontestasi.

Bagaimana penilaian publik terhadap penyelenggaraan pilkada serentak 2017? Berkaca dari penyelenggaraan pilkada sebelumnya, persiapan pilkada serentak 2017 dinilai semakin baik oleh mayoritas publik. Namun, publik memberi sejumlah catatan terkait dengan pelaksanaan proses pilkada.

Masih ada sekitar 40 persen publik yang mengaku belum mengetahui prosedur yang harus ditempuh jika namanya tidak masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT). Sosialisasi yang dilakukan KPU tentang setiap pasangan calon pun dinilai belum cukup bagi 40,4 persen responden.

Berkaitan dengan pengetahuan responden terhadap calon kepala daerah, sekitar 60 persen responden cukup mengetahui profil, kapasitas, dan program pasangan calon dari media massa. Hanya 13 persen yang mengaku tahu banyak tentang seluk beluk pasangan calon yang berlaga di pilkada nanti. Terkait program, terdapat 22 persen responden yang tidak mengetahui apa pun tentang apa yang akan dikerjakan pasangan calon.

Meski sosialisasi belum maksimal, mayoritas publik (79,7 persen) akan menggunakan hak pilihnya. KPU sendiri menargetkan partisipasi politik pada Pilkada 2017 sebesar 77,5 persen. Beberapa faktor yang akan menjadi pertimbangan responden untuk menentukan calon kepala daerah pilihannya adalah faktor visi misi (19,6 persen), kepribadian (14,9 persen), rekam jejak bersih dari korupsi (13,6 persen), kesamaan agama (9,6 persen), latar belakang profesi (8,3 persen), dan kinerja (6,8 persen).

Pertimbangan rasional tampaknya menjadi pilihan utama responden untuk pilkada saat ini. Meskipun masih ada responden yang menjadikan kesamaan agama sebagai faktor untuk memilih kepala daerah, proporsi lebih besar menjadikan faktor-faktor lebih rasional sebagai pertimbangan utama memilih. Terhadap calon kepala daerah yang terindikasi korupsi pun, mayoritas responden (71,1 persen) bersikap tak akan memilihnya.

Rawan politik uang

Politik uang ditengarai masih akan mendominasi pilkada kali ini. Mayoritas responden mengamini bahwa politik uang masih mendominasi pilkada serentak 2017. Masa tenang adalah masa yang paling rawan dengan politik uang. Penilaian publik ini sejalan dengan Indeks Kerawanan Pilkada 2017 yang dikeluarkan Bawaslu di mana kerawanan politik uang menempati posisi tertinggi. Politik uang disebut rawan terjadi di 7.197 tempat pemungutan suara (TPS).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 19 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 19 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Tanggal 18 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 18 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Di Sidang SYL, Saksi Akui Ada Pembelian Keris Emas Rp 105 Juta Pakai Anggaran Kementan

Di Sidang SYL, Saksi Akui Ada Pembelian Keris Emas Rp 105 Juta Pakai Anggaran Kementan

Nasional
Dede Yusuf Minta Pemerintah Perketat Akses Anak terhadap Gim Daring

Dede Yusuf Minta Pemerintah Perketat Akses Anak terhadap Gim Daring

Nasional
Mesin Pesawat Angkut Jemaah Haji Rusak, Kemenag Minta Garuda Profesional

Mesin Pesawat Angkut Jemaah Haji Rusak, Kemenag Minta Garuda Profesional

Nasional
Anggota Fraksi PKS Tolak Presiden Bebas Tentukan Jumlah Menteri: Nanti Semaunya Urus Negara

Anggota Fraksi PKS Tolak Presiden Bebas Tentukan Jumlah Menteri: Nanti Semaunya Urus Negara

Nasional
Usai Operasi di Laut Merah, Kapal Perang Belanda Tromp F-803 Merapat di Jakarta

Usai Operasi di Laut Merah, Kapal Perang Belanda Tromp F-803 Merapat di Jakarta

Nasional
Kriteria KRIS, Kemenkes: Maksimal 4 Bed Per Ruang Rawat Inap

Kriteria KRIS, Kemenkes: Maksimal 4 Bed Per Ruang Rawat Inap

Nasional
Soroti DPT Pilkada 2024, Bawaslu: Pernah Kejadian Orang Meninggal Bisa Memilih

Soroti DPT Pilkada 2024, Bawaslu: Pernah Kejadian Orang Meninggal Bisa Memilih

Nasional
Direktorat Kementan Siapkan Rp 30 Juta Tiap Bulan untuk Keperluan SYL

Direktorat Kementan Siapkan Rp 30 Juta Tiap Bulan untuk Keperluan SYL

Nasional
Setuju Sistem Pemilu Didesain Ulang, Mendagri: Pilpres dan Pileg Dipisah

Setuju Sistem Pemilu Didesain Ulang, Mendagri: Pilpres dan Pileg Dipisah

Nasional
Menko Airlangga: Kewajiban Sertifikasi Halal Usaha Menengah dan Besar Tetap Berlaku 17 Oktober

Menko Airlangga: Kewajiban Sertifikasi Halal Usaha Menengah dan Besar Tetap Berlaku 17 Oktober

Nasional
Serius Transisi Energi, Pertamina Gandeng KNOC dan ExxonMobil Kembangkan CCS

Serius Transisi Energi, Pertamina Gandeng KNOC dan ExxonMobil Kembangkan CCS

Nasional
Bawaslu Akui Kesulitan Awasi 'Serangan Fajar', Ini Sebabnya

Bawaslu Akui Kesulitan Awasi "Serangan Fajar", Ini Sebabnya

Nasional
Kontras Desak Jokowi dan Komnas HAM Dorong Kejagung Selesaikan Pelanggaran HAM Berat Secara Yudisial

Kontras Desak Jokowi dan Komnas HAM Dorong Kejagung Selesaikan Pelanggaran HAM Berat Secara Yudisial

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com