Dengan demikian, pilihan atas satu sistem pemilu harus diarahkan untuk terselenggaranya kedua fungsi tersebut.
Jika kita menilik sejarah pemilu di Indonesia yang selalu menggunakan sistem berbasis proportional representation, maka perlu direkayasa ulang sistem pemilu apa yang sesuai digunakan di Indonesia. Salah satunya dengan menggunakan sistem pemilu campuran.
Apalagi, penggunaan sistem proporsional terbuka berdasarkan urutan suara terbanyak sejatinya menurut saya adalah menggabungkan sistem proporsional dengan sistem mayoritarian.
Secara konseptual, selain sistem pemilu proporsional dan sistem mayoritarian, juga terdapat sistem pemilu campuran yang basis utamaya adalah sistem proporsional digabung dengan sistem mayoritarian. Sistem ini yang merupakan varian dari sistem proporsional disebut sebagai mixed member proportional (MMP) seperti yang berlaku di Jerman, Selandia Baru, Bolivia, Italia, Venezuela, dan Hongaria (Andrew Reynold, 2001).
Varian ini mencoba menggabungkan ciri-ciri positif dari sistem pluralitas-mayoritas maupun sistem proporsional.
Sebagian anggota parlemen dipilih melalui sistem mayoritarian (terutama varian first past the post atau sistem distrik berwakil tunggal), sebagian lagi dipilih berdasarkan sistem proporsional di mana keterpilihan calon ditentukan berdasarkan nomor urut yang disusun partai politik.
Selain MMP, terdapat juga sistem campuran yang disebut sistem paralel atau dikenal dengan sistem mixed member majoritarian (MMM) sebagaimana digagas Pusat Penelitian Politik LIPI. Prinsipnya hampir sama bahwa sistem proporsional tertutup digunakan bersama-sama dengan sistem mayoritarian.
Usulan konkret LIPI kepada pansus menyebutkan bahwa sebanyak 392 kursi atau 70 persen dari 560 kursi DPR dipilih melalui sistem proporsional tertutup yang memberikan kewenangan kepada partai menentukan kader terbaiknya untuk menjadi calon terpilih.
Adapun alokasi kursi setiap daerah pemilihan ditentukan 3-6 kursi. Selanjutnya 168 kursi atau 30 persen dari 560 kursi DPR dipilih melalui sistem mayoritarian dengan daerah pemilihan (distrik) berwakil tunggal.
Meski demikian, LIPI menyadari bahwa sistem ini perlu simulasi dan sosialisasi yang baik agar dapat memenuhi kebutuhan dan kepentingan semua pihak yang berkepentingan.
Menilik dari gambaran sistem campuran di atas, terlihat bahwa sistem tersebut dapat menjadi pilihan bagi Indonesia dengan mengingat sejarah, kondisi geopolitik, kondisi geografis, serta keberagaman yang ada.
Selama ini basis sistem pemilu kita sudah menganut sistem proporsional. Dalam perkembangannya terutama sejak Pemilu 2009, kita sudah menerapkan sistem pemilu proporsional terbuka berdasarkan urutan suara terbanyak.
Dengan demikian, sistem pemilu Indonesia sesungguhnya berada antara sistem proporsional dan sistem mayoritarian. Kombinasi ini bukan tanpa alasan.
Salah satu kritik utama sistem proporsional tertutup adalah rendahnya derajat keterwakilan (degree of representativeness) calon terpilih karena sepenuhnya ditentukan partai politik.
Sementara sistem proporsional terbuka berdasarkan urutan suara terbanyak dinilai mampu menjembatani kesenjangan (gap) tersebut dan calon terpilih akan lebih memiliki kedekatan dengan konstituennya.