JAKARTA, KOMPAS.com - Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu lagi-lagi menimbulkan dinamika politik di parlemen.
Akan tetapi, yang diributkan bukan soal aturan yang menjamin asas keterwakilan rakyat serta terbentuknya pemerintahan yang efektif, partai politik justru terjebak pada pragmatisme.
Mereka hanya sibuk membahas aturan yang memengaruhi keberadaan mereka di jagad politik nasional.
Bentuk pragmatisme itu terlihat saat mereka ribut membahas amabng batas parlemen.
Topik ini selalu "diributkan" dalam setiap penyusunan RUU Pemilu.
Angka ambang batas parlemen mengalami peningkatan sejak dua pemilu terakhir.
Tujuannya, penyederhanaan parpol di parlemen agar roda pemerintahan berjalan efektif.
Namun, peningkatan ambang batas parlemen tak selalu berbanding lurus dengan tujuannya.
Pemilu 2014 buktinya.
(Baca: Ini Lima Opsi Ambang Batas Parlemen Pemilu 2019)
Peningkatan ambang batas parlemen dari 2,5 persen menjadi 3,5 persen justru menambah jumlah parpol yang memperoleh kursi di DPR, yakni menjadi 10 parpol.
Padahal, pada periode 2009-2014, parpol di DPR berjumlah 9.
Beragam usulan kini muncul dalam pembahasan RUU Pemilu 2019.
Ketua Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-undang (RUU) Pemilu, Lukman Edy, mengatakan, ada lima opsi ambang batas parlemen yang ditawarkan seluruh fraksi untuk Pemilu Legislatif 2019.
"Ada yang mengusulkan sebesar 0 persen; 3,5 persen; 5 persen; 7 persen dan 10 persen. Ya lima itu usulannya," kata Lukman, saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (11/1/2017).