Ritual ibadah saat itu tidak disebut dengan kata shalat tapi disebut sembahyang, dari kata menyembah Hyang.
Istilah puasa juga berasal dari kata agama Kapitayan, yakni upawasa yang artinya tidak makan dan tidak minum.
Tempat Ibadah pun tidak dilakukan di mushalla atau masjid, tapi di langgar, yang berasal dari kata sanggar, tempat ibadah penganut Kapitayan.
"Semua berangkat dari kearifan lokal. Dari situ perlahan banyak orang masuk Islam. Lewat pertunjukan wayang itu juga dalam rangka mengumpulkan orang untuk mengucap dua kalimat syahadat," papar Agus.
"Ada juga upacara Sekaten, itu sebenarnya syahadaten atau membaca dua kalimat syahadat secara massal. Orang kumpul di alun-alun sambil mengucap syukur dan melafal dua kalimat syahadat," tambahnya.
Belajar dari sejarah
Jika melihat dari sejarah bangsa-bangsa, tradisi dan kebudayaan sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan sebuah peradaban.
Agus mencontohkan, bangsa Kurdi yang pernah memiliki kerajaan Kurdistan yang sangat besar saat dipimpin oleh Raja Shalahuddin al-Ayyubi.
Setelah Shalahuddin wafat, Kerajaan Kurdistan jatuh.
Kejatuhan Kurdistan, kata Agus, bukan karena tidak adanya pengganti yang sehebat Shalahuddin, namun karena bangsa Kurdi tidak memiliki tradisi dan budaya, selain agama Islam.
"Orang Kurdi itu hanya beragama dengan baik tapi tidak punya tradisi. Mereka tidak punya yang namanya tradisi budaya Islam Kurdi. Mereka hanya menjalankan rukun Islam tanpa landasan budaya," ujar Agus.
Hal yang sama juga terjadi di Spanyol. Menurut Agus, agama Islam pernah bertahan selama 700 tahun.
Orang-orang Spanyol sempat menganut agama Islam dengan taat. Namun seperti bangsa Kurdi, orang-orang Spanyol tidak memiliki landasan tradisi dan budaya, sehingga kejayaan Islam runtuh.
"Orang-orang Spanyol hanya mengamalkan ibadah, ya hanya itu saja. Tidak ada sejarah Islam Spanyol dan sejarah bangsa-bangsa selalu seperti itu, yang tidak punya budaya, habis," tuturnya.
Meneguhkan Islam Nusantara
Dalam pidato kebudayaannya, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siroj mengatakan, warga NU memiliki ciri khas dalam menjalankan nilai-nilai keagamaannya yang harus terus dijaga.
Menurut Said, sebagai pengusung pandangan Islam Nusantara, warga NU selalu membangun nilai-nilai agama di atas landasan budaya.
Dengan begitu, warga NU umumnya memiliki pemahaman agama yang kuat.
"Ciri khas Islam Nusantara itu membangun agama di atas landasan budaya, maka Islamnya sangat kuat," ujarnya.
Said menuturkan, sejak pertama kali Islam masuk ke Indonesia, terbukti nilai-nilai Islam berhasil berakulturasi dengan budaya lokal.
Dia mencontohkan budaya tahlilan yang selalu dijalankan untuk memperingati dan mendoakan orang meninggal merupakan percampuran budaya.
Said juga menyebutkan kebiasaan warga NU di Kudus, Jawa Tengah, yang tidak memiliki kebiasaan menyembelih sapi, melainkan kerbau, setiap Idul Adha.
Kebiasaan itu sudah dibangun sejak zaman Sunan Kudus untuk menghormati warga Hindu di sana.
"Budaya bisa digabungkan dengan nilai-nilai Islam. Proses akulturasi budaya dan agama sangat mungkin terjadi dalam ajaran Islam," tutur Said.
"Jadi kami sengaja lestarikan budaya sebagai infrastruktur yang di atasnya ada nilai-nilai syarit Islam," tambah dia.
Selain itu, Said juga menegaskan tentang pentingnya warga NU menjaga rasa nasionalisme kebangsaan sebagai landasan kerukunan antar umat beragama di Indonesia.
"Jadi yang didulukan itu ukhuwah watoniyah, baru ukhuwah islamiyah," kata Said.
NU ,engambil tema "Budaya Sebagai Infrastruktur Penguat Paham Keagamaan" pada peringatan Harlah tahun ini untuk menggiatkan anak muda NU agar tidak lupa dengan akar budaya lokal.
NU akan mengedepankan strategi kebudayaan agar dakwah-dakwah keagamaan yang terjadi menjadi lebih menyejukkan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.