Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kebijakan Penuntasan Kasus Trisakti dan Semanggi Dinilai Bias Politik

Kompas.com - 01/02/2017, 07:27 WIB
Ambaranie Nadia Kemala Movanita

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Setara Institute Hendardi menganggap keputusan pemerintah untuk menyelesaikan Tragedi Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II (kasus TSS) secara rekonsiliasi atau non yudisial kental dengan unsur politis.

"Keputusan pemerintah tentang makanisme non yudisial dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM TSS seperti disampaikan Menkopolhukam Wiranto dan Komnas HAM merupakan keputusan pragmatis dan bias politik," ujar Hendardi melalui siaran pers, Rabu (1/2/2017).

Hendardi mengatakan, bias politik dari kebijakan itu terlihat dari pengambil keputusan opsi tersebut, yakni Wiranto.

(Baca: Keluarga Korban Tragedi Semanggi I Tagih Janji Jokowi)

Pada periode terjadinya pelanggaran HAM tersebut, Wiranto merupakan pemegang komando atas TNI dan Polri sebelum adanya pemisahan.

Secara moral dan politis, Wiranto tidak memiliki legitimasi untuk memutus pilihan penyelesaian kasus TSS I dan II.

"Di mana semestinya (Wiranto) termasuk pihak yang harus dimintai keterangan dan pertanggungjawaban," kata Hendardi.

Di sisi lain, keputusan ini menggambarkan lemahnya Komnas HAM sebagai lembaga yang punya kewenangan penyelidikan.

Dalam penyelidikan itu, Komnas HAM menyimpulkan adanya dugaan pelanggaran HAM pada kasus TSS I dan II berdasarkan bukti yang cukup. Namun, begitu saja membiarkan upaya rekonsiliasi ini dilakukan.

Menurut Hendardi, dalam konstruksi Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000, mekanisme non yudisial dalam penyelesaian pelanggaran HAM hanya dibenarkan jika secara teknis hukum, sulit diperoleh bukti-bukti yang dapat dijadikan dasar penyelidikan, penyidikan, dan pemeriksaan di pengadilan HAM.

Sementara itu, untuk kasus ini, selain adanya bukti-bukti kuat yang telah dihimpun oleh Komnas HAM, juga memungkinkan meminta keterangan para saksi yang masih hidup.

"Bahkan banyak yang menjadi pajabat negara. Karena itu pilihan non yudisial adalah langkah keliru dan melawan keadilan publik," kata Hendardi.

Menurut Hendardi, Presiden Joko Widodo harus segera mengambil sikap tegas sebagaimana yang dijanjikan dalam Nawacita dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.

Di situ disebutkan bahwa keputusan pilihan penyelesaian pelanggaran HAM akan dilakukan setelah proses pengungkapan kebenaran terlebih dahulu oleh suatu komite khusus.

Jokowi diminta merealisasikan janjinya itu dengan membentuk Komisi Kepresidenan Pengungkapan Kebenaran dan Keadilan.

Komisi tersebut, kata Hendardi, yang akan menentukan pilihan jalur yudisial atau non yudisial untuk menyelesaikan warisan pelanggaran HAM masa lalu.

(Baca: Keluarga Korban Memperingati 18 Tahun Tragedi Semanggi I di Depan Kemenko Polhukam)

"Jokowi jangan lengah dengan manuver sejumlah pihak yang menghendaki penyelesaian pelanggaran HAM bertolak belakang dengan janji Jokowi," kata Hendardi.

Sebelumnya, Ketua Komnas HAM Imdadun Rahmat mengatakan, keputusan langkah non yudisial untuk penuntasan kasus Semanggi dan Trisakti diambil berdasarkan sikap politik pemerintah saat ini.

Imdadun mengaku sulit untuk memaksakan penyelesaian kasus TSS melalui jalur pengadilan HAM ad hoc.

Selain karena pilihan politik pemerintah, selama ini pihak Kejaksaan Agung juga tidak bisa bekerja sama dalam menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM.

Secara terpisah, Menko Polhukam Wiranto mengatakan, pemerintah menginginkan adanya bentuk penyelesaian kasus HAM masa lalu tanpa menimbulkan masalah baru.

Hasil penyelidikan KPP HAM Tragedi Trisakti, Semanggi I dan II pada bulan Maret 2002, menyatakan bahwa ketiga tragedi tersebut bertautan satu sama lain.

KPP HAM TSS juga menyatakan, bahwa “…terdapat bukti-bukti awal yang cukup bahwa di dalam ketiga tragedi telah terjadi pelanggaran berat HAM yang antara lain berupa pembunuhan, peganiayaan, penghilangan paksa, perampasan kemerdekaan dan kebebasan fisik yang dilakukan secara terencana dan sistematis serta meluas…”.

Komnas HAM melalui KPP HAM TSS merekomendasikan untuk melanjutkan penyidikan terhadap sejumlah petinggi TNI/POLRI pada masa itu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 19 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 19 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Tanggal 18 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 18 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Di Sidang SYL, Saksi Akui Ada Pembelian Keris Emas Rp 105 Juta Pakai Anggaran Kementan

Di Sidang SYL, Saksi Akui Ada Pembelian Keris Emas Rp 105 Juta Pakai Anggaran Kementan

Nasional
Dede Yusuf Minta Pemerintah Perketat Akses Anak terhadap Gim Daring

Dede Yusuf Minta Pemerintah Perketat Akses Anak terhadap Gim Daring

Nasional
Mesin Pesawat Angkut Jemaah Haji Rusak, Kemenag Minta Garuda Profesional

Mesin Pesawat Angkut Jemaah Haji Rusak, Kemenag Minta Garuda Profesional

Nasional
Anggota Fraksi PKS Tolak Presiden Bebas Tentukan Jumlah Menteri: Nanti Semaunya Urus Negara

Anggota Fraksi PKS Tolak Presiden Bebas Tentukan Jumlah Menteri: Nanti Semaunya Urus Negara

Nasional
Usai Operasi di Laut Merah, Kapal Perang Belanda Tromp F-803 Merapat di Jakarta

Usai Operasi di Laut Merah, Kapal Perang Belanda Tromp F-803 Merapat di Jakarta

Nasional
Kriteria KRIS, Kemenkes: Maksimal 4 Bed Per Ruang Rawat Inap

Kriteria KRIS, Kemenkes: Maksimal 4 Bed Per Ruang Rawat Inap

Nasional
Soroti DPT Pilkada 2024, Bawaslu: Pernah Kejadian Orang Meninggal Bisa Memilih

Soroti DPT Pilkada 2024, Bawaslu: Pernah Kejadian Orang Meninggal Bisa Memilih

Nasional
Direktorat Kementan Siapkan Rp 30 Juta Tiap Bulan untuk Keperluan SYL

Direktorat Kementan Siapkan Rp 30 Juta Tiap Bulan untuk Keperluan SYL

Nasional
Setuju Sistem Pemilu Didesain Ulang, Mendagri: Pilpres dan Pileg Dipisah

Setuju Sistem Pemilu Didesain Ulang, Mendagri: Pilpres dan Pileg Dipisah

Nasional
Menko Airlangga: Kewajiban Sertifikasi Halal Usaha Menengah dan Besar Tetap Berlaku 17 Oktober

Menko Airlangga: Kewajiban Sertifikasi Halal Usaha Menengah dan Besar Tetap Berlaku 17 Oktober

Nasional
Serius Transisi Energi, Pertamina Gandeng KNOC dan ExxonMobil Kembangkan CCS

Serius Transisi Energi, Pertamina Gandeng KNOC dan ExxonMobil Kembangkan CCS

Nasional
Bawaslu Akui Kesulitan Awasi 'Serangan Fajar', Ini Sebabnya

Bawaslu Akui Kesulitan Awasi "Serangan Fajar", Ini Sebabnya

Nasional
Kontras Desak Jokowi dan Komnas HAM Dorong Kejagung Selesaikan Pelanggaran HAM Berat Secara Yudisial

Kontras Desak Jokowi dan Komnas HAM Dorong Kejagung Selesaikan Pelanggaran HAM Berat Secara Yudisial

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com