KOMPAS.com - Sejak Menhukham Yasonna H. Laoly meneken Peraturan KPU-RI Nomor 7 Tahun 2015, disusul Keputusan KPU-RI Nomor 123/Ktps/KPU/ Tahun 2016, praktis pesta demokrasi di daerah alias Pilkada sunyi senyap.
Lewat peraturan itu kampanye dengan cara melakukan konvoi atau pawai di jalan adalah haram hukumnya. Aturan tersebut juga mengatur empat sarana kampanye pasangan calon kepala daerah yang dibiayai oleh negara, dan dilaksanakan oleh masing-masing Komisi Pemilihan Umum (KPU) daerah.
Keempat sarana tersebut adalah pemasangan alat peraga kampanye, penyebaran bahan kampanye, iklan di media cetak dan elektronik, dan debat publik antarpasangan calon kepala daerah. Itu yang membuat Pilkada menjadi dingin bila dibandingkan pesta demokrasi sebelumnya.
Aturan itu juga yang membuat putaran kencang rejeki Pilkada melambat. Banyak konsultan politik, lembaga riset, media massa, koordinator pengerahan massa sepi proyek. Pemilu yang biasanya panen, kini tak ubahnya kemarau.
Hal serupa menimpa para pengrajin bahan kampanye. Mulai dari tukang sablon kaos, mug, pin, stiker hingga percetakan kalender dan pamflet kini sepi order karena KPU mengatur seluruh bahan kampanye dikonversi dalam bentuk uang maksimal Rp 25.000.
Bila melanggar, misalnya memasangan iklan kampanye secara diam-diam, ancaman saksinya cukup berat. Mulai dari teguran hingga pasangan calon (paslon) dikenai sanksi pembatalan pasangan calon. Ngeri, meski sejak Pilkada 2015 itu hanya sekedar ancaman.
Lalu adakah jalan mengais suara dan rejeki dari Pilkada? Jelas ada! Tak lain melalui media sosial (medsos). Mengapa medium ini yang dipilih?
Pertama, jumlah penggunanya yang besar. Melihat hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) 2016 didapati dari 132,7 juta pengguna internet Indonesia terdapat 129,2 juta (97,4%) yang mengakses informasi media sosial.
Mayoritas medsos digunakan untuk berbagi informasi (97,5 persen), berdakwah agama (81,9 persen) dan berpolitik (75,6 persen). Dua platform medsos yang paling sering dikunjungi adalah Facebook (54 persen) dan Instagram (15 persen). Sementara itu Twitter yang kerap dijadikan rujukan tanggapan isu rupanya hanya digunakan oleh 7,2 juta orang atau 5,5 persen.
Kedua, sifat medsos adalah ‘market is conversation’ yang artinya market atau pasar isinya adalah individu yang saling bercakap. Artinya, kampanye yang berlangsung melalui medsos bersifat dua arah alias lebih intim.
Ketiga, Sudah pasti murah! Cukup modal berlangganan paket data, kreativitas membungkus marketing kampanye dan yang pasti medium ini mendukung user generated content dimana setiap pengguna medsos dapat memproduksi konten yang mendukung keberlansungan komunikasi tersebut baik dalam bentuk teks, gambar, suara bahkan audio-visual.
Meski demikian, ada pula kekurangan dari kampanye di medsos? Pertama, kultur social media marketing mensyaratkan adanya kedekatan antara brand atau person (calon pemimpin daerah) dengan customer yaitu calon pemilih atau pemilih setia. Tanpa itu lupakan keunggulan medsos.
Kedua, medsos bersifat permission marketing. Artinya meski mudah dan murah, medsos sangat tergantung pada ijin dari pasar. Misalnya kalau kita ingin terkoneksi maka wajib hukumnya untuk mendapat approval (persetujuan).
Mayoritas tak peduli
Sayangnya, kampanye melalui medsos yang masif sejak Pilkada DKI 2012 baru mendapat perhatian dalam Pilkada 2017 dimana KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) berwacana melakukan pembatasan penggunaan jumlah akun media sosial (medsos) yang digunakan para calon (paslon) kepala daerah.
Harapannya dengan pendaftaran akun medsos paslon kepala daerah, maka bentuk pelanggaran di dunia maya karena kerap menjual unsur SARA bahkan fitnah menyangkut urusan pribadi dapat dengan mudah diawasi. Praktiknya dalam kasus Pilkada DKI tahun ini jumlah akun medsos milik paslon tidak dibatasi.
Semakin miris, jauh hari Bawaslu mengaku kesulitan mengawasi kampanye di medsos karena tak ada aturan baku yang mengatur kampanye di medsos tersebut kecuali adanya regulasi mengatur konten dunia maya (UU ITE) melalui mekanisme pengaduan dari masyarakat.
Nah, bagaimana kualitas laman (website) dan media sosial dari Bawaslu DKI yang sedikit banyak mewakili kualitas Bawaslu di tingkat daerah, sebelum kita dapat menarik kesimpulan awal soal kualitas Bawaslu dalam mengawasi dunia maya.
Dalam hal laman, Bawaslu DKI telah menggunakan alamat domain go.id yang sesuai dengan Surat Edaran No 3 Tahun 2015 tentang Penataan Nama Domain Instansi Penyelenggara Negara yang dirilis Menkominfo, sayang isinya kurang update. Berita terakhir yang diunggah pada 20 September 2016.
Dari sisi sociable, laman Bawaslu sebagai lembaga pengawas, tidak memiliki tautan medsos. Hingga artikel ini ditulis Bawaslu DKI tidak memiliki akun Facebook resmi. Bagaimana twitter? Akun yang dibuat pada Februari 2013 itu terakhir mencuit pada 9 Januari 2014.
Bagaimana dengan kualitas Bawaslu di 100 daerah lain yang akan menggelar Pilkada serentak tahun ini di tingkat provinsi yaitu Aceh, Bangka Belitung (Babel), Banten, Gorontalo, Sulawesi Barat dan Papua Barat.
Serupa Bawaslu DKI, keenam Bawaslu tersebut menggunakan domain go.id, sementara dari sisi kecerewetan Bawaslu Banten adalah yang terdepan karena update terakhir dilakukan pada 6 Januari 2017, itupun unggahan bersifat pribadi pengelola akun Bawaslu. Sisanya Bawaslu lain, sudahlah, bahkan ada akun Bawaslu yang sepenuhnya kosong melompong.
Berlanjut ke Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) tingkat Kabupaten yang berjumlah 76 daerah? Rupanya dari Mesuji hingga Pringsewu hanya Panwaslu Kabupaten Cilacap yang serius mengelola laman mereka dengan alamat http://panwas.cilacapkab.go.id.
Selain itu KPUD Cilacap cukup aktif bermain di sosial media jenis Youtube. Namun jangan tanyakan soal kuantitas video yang diunggah, following maupun followers mereka terlalu kecil untuk disebut populer.
Sementara laman 75 Panwaslu tingkat Kabupaten lain, seluruhnya dibangun menggunakan platform maupun memakai domain gratis dari wordpress atau blogger (blogspot). Soal domain bervariasi antara com, org ataupun net. Beberapa malah tak memiliki laman.
Bagaimana dengan 18 Panwaslu tingkat kota? Setali tiga uang! Bahkan Salatiga, Yogyakarta, Cimahi dan Tasikmalaya, yang berada di Pulau Jawa yang seharusnya tak bermasalah dalam hal SDM pun menggunakan laman berdomain com yang sudah ditegaskan Menteri Kominfo tidak aman.
Lebih miris, Panwas Kota Batu di Jawa Timur, yang hanya kurang dari sejam dari kota Malang bahkan tak memiliki laman, serupa Panwas kota di Kawasan Tengah dan Timur Indonesia: Kupang, Ambon dan Sorong.
Dengan kondisi seperti ini, apa yang kita harapkan dari Bawaslu hingga Panwaslu untuk mengawasai kampanye di media sosial yang luar biasa ramai? Selain kita hanya bisa pasrah, mari menghibur diri siapa tahu kuantitas dan kualitas medsos di luar Jakarta tak seribut kampanye berebut kursi DKI 1.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.