Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kesenjangan Sosial dan Ekonomi Dinilai Memicu Populisme

Kompas.com - 15/01/2017, 17:37 WIB
Kristian Erdianto

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Sejumlah pengamat memandang bahwa pertumbuhan ekonomi yang tidak merata menjadi salah satu penyebab munculnya fenomena populisme di Indonesia.

Kesenjangan sosial memicu lahirnya kelompok-kelompok masyarakat yang kecewa dengan pemerintah dan beralih pada tokoh-tokoh populis.

Tokoh populis yang cenderung anti-demokrasi dan anti-pluralisme itu dipercaya membawa ide-ide kemakmuran bagi rakyat.

Pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia, Faisal Basri, mengatakan, saat ini pemerintah belum berhasil mengatasi kesenjangan ekonomi.

(baca: Ancaman Gerakan Populis terhadap Demokrasi di Indonesia)

Dia menyebut, 10 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 75,7 persen kekayaan nasional. Kekayaan tersebut diperoleh karena faktor kedekatan dengan kekuasaan.

Sementara di sisi lain, pemerintah belum mampu meningkatkan kesejahteraan kelompok pekerja.

Menurut Faisal, pendapatan kelompok masyarakat pekerja cenderung menurun. Hal itu diperparah dengan bertambahnya jam kerja karena tekanan ekonomi.

"Mayoritas pendapatan petani, buruh tani dan buruh bangunan menurun. Karena tekanan ekonomi jam kerja pun jadi bertambah, rata-rata 49 jam per minggu. Kelompok Pekerja di Indonesia masuk kategori pekerja keras nomor tiga setelah Hongkong dan Korea," ujar Faisal dalam diskusi 'Menyikapi Perubahan, Kebangkitan Populisme' di Balai Kartini, Jakarta Selatan, Minggu (15/1/2017).

Faisal menuturkan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik, masih terdapat 28,01 juta jiwa yang hidup miskin.

Kemiskinan yang paling parah berada di wilayah pedesaan. Baik indeks kedalaman kemiskinan maupun keparahan kemiskinan dalam beberapa tahun terakhir cenderung meningkat.

BPS mencatat, periode November 2014 hingga 2016, pendapatan rata-rata petani indonesia menurun 1,80 persen.

Sedangkan pendapatan pekerja konstruksi turun 0,76 persen.

Hal senada juga diungkapkan oleh pengamat sosial dan politik Yudi Latif. Menurut Yudi, gejala demokratisasi yang terjadi sejak 1998 tidak diikuti dengan upaya kolektivisme. Artinya, banyak keputusan pemerintah yang didasarkan pada kehendak mayoritas.

"Gejala demokratisasi tidak diikuti dengan kolektivisme, maka keputusan berdasarkan mayoritas. Banyak persoalan tidak diselesaikan melalui musyawarah untuk mufakat," ujar Yudi.

Ketimpangan demokrasi tersebut, menurut Yudi, berimbas pada kesenjangan ekonomi yang dalam 10 tahun terakhir dinilai tidak banyak berubah.

Rasio gini sebagai alat pengukur kesenjangan berkutat antara 0,39-0,43.

Menurut Yudi, perekonomian Indonesia saat ini hanya dikuasai oleh kelompok tertentu dan tidak mengarah pada kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

"Hanya 40 konglomerat yang menguasai seluruh perekonomian indonesia," kata Yudi.

Yudi menuturkan, untuk mencegah meluasnya fenomena populisme di masyarakat, pemerintah harus bisa menciptakan stabilitas ekonomi dan pertumbuhan ekonomi kerakyatan.

Pertumbuhan ekonomi yang berorientasi pada kualitas dinilai mampu mempersempit kesenjangan sosial, mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com