Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Urgensi Badan Siber Nasional untuk Tangkal Serangan ke Dunia Perbankan

Kompas.com - 09/01/2017, 16:53 WIB
Kristian Erdianto

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat siber dan ahli digital forensik Ruby Alamsyah berpendapat bahwa saat ini terdapat satu urgensi bagi pemerintah untuk segera membentuk Badan Siber Nasional.

Tidak hanya untuk menangkal penyebaran berita hoax, Badan Siber Nasional juga diharapkan bisa meningkatkan keamanan teknologi informasi seiring meningkatnya serangan siber di dunia perbankan.

"Sangat urgen Indonesia mempunyai badan cyber security terutama yang bergerak di bidang perbankan. Sangat besar kerugian terkait cyber crime oleh pelaku lokal atau negara asing," ujar Ruby saat dihubungi Kompas.com, Senin (9/1/2017).

Ruby menjelaskan, sejak beberapa tahun belakangan, pemerintah sudah melihat adanya peningkatan serangan yang menggerus transaksi perbankan. Serangan tersebut menargetkan perusahaan-perusahaan besar, baik swasta maupun milik pemerintah.

Dia menyebut ada pihak-pihak tertentu yang berupaya membobol rekening perusahaan yang tercatat di bank-bank tertentu.

Dia mencontohkan kasus yang cukup banyak terjadi yakni ATM scamming. Pelaku masuk ke dalam sistem perbankan dan memindahkan sejumlah uang ke satu rekening tanpa bisa dideteksi oleh pihak bank.

Umumnya pelaku ATM scamming berasal dari dalam dan luar negeri.

Selain itu ada juga kasus "Nigerian Scamming". Pelaku yang berasal dari Nigeria, meretas sebuah email pribadi kemudian mengirimkan surat elektronik atas nama pemilik email tersebut.

Mereka berpura-pura sebagai rekan bisnis dan meminta sejumlah uang atau mengirimkan invoice (surat tagihan) palsu kepada sebuah perusahaan.

Menurut praktisi digital forensik yang tergabung dalam Tim Desk Ketahanan dan Keamanan Informasi Cyber Nasional Kemenko Polhukam itu, kerugian yang timbul mencapai Rp 500 miliar per tahun dari serangan tersebut.

"Kami sudah pernah bicara dengan BI (Bank Indonesia) dan OJK (Otoritas Jasa Keuangan), ada pihak asing yang menggunakan dan menggerus transaksi perbankan. Satu rekening bisa dibobol hingga milyaran rupiah. Kami sudah mengendusnya 1 atau 2 tahun belakangan," ucapnya.

Selain serangan terhadap dunia perbankan, Ruby juga menuturkan, fenomena perang siber (cyber war) seperti yang terjadi antara Rusia dan Amerika saat pemilu presiden beberapa waktu lalu, berpotensi terjadi di Indonesia.

Ruby menceritakan, penyebaran berita hoax yang disebut berpengaruh terhadap kemenangan Trump justru bermula dari penyebaran malware di masyarakat Amerika Serikat.

Malware tersebut awalnya mengambil data pribadi dan data perbankan secara ilegal.

"Cyber war antara Rusia dan USA kami sinyalir juga terjadi di Indonesia ada laporan dari FBI dan CIA," kata Ruby.

"Awalnya kepentingan ekonomi, akhirnya bisa jadi kepentingan politik seperti terjadi di Amerika sekarang. Modusnya sama dengan yang terjadi di Indonesia. Bayangkan USA sudah punya NSA saja masih bisa dibobol," tuturnya.

Untuk mengantisipasi hal tersebut, Ruby berharap Badan Siber Nasional memiliki kewenangan yang komprehensif.

Artinya, badan itu tidak sekadar menjalankan fungsi koordinasi antara badan siber yang sudah ada di beberapa Kementerian/Lembaga.

(Baca juga: Wiranto: Badan Siber Tak Akan Masuk Ranah Privat Pengguna Internet)

Selain itu, Badan Siber Nasional harus memiliki kewenangan memblokir, menganalisis, memonitor, dan memberi masukan kepada instansi pemerintah lainnya.

"Saya harap Basinas menjadi badan yang beranggotakan multi-stakeholder dan fokus juga pada keamanan teknologi perbankan. Fungsinya komprehensif dan koordinatif. Jika hanya untuk meredam berita hoax, menurut saya salah kaprah," tuturnya.

(Baca juga: Badan Siber Tak Hanya Pantau Berita "Hoax")

Kompas TV Cara Melawan Berita "Hoax" di Media Sosial
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com