JAKARTA, KOMPAS.com — Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Boy Rafli Amar mengatakan, hingga saat ini, penyidik belum menemukan auktor intelektualis di balik penyusunan buku Jokowi Undercover.
Penyidik meyakini adanya pihak lain yang membantu sang penulis, Bambang Tri Mulyono, untuk menumpahkan cerita dan mencari data dalam buku tersebut.
"Penyidikan dari yang berjalan tidak berhenti pada BTM. Kita masih cari lebih jauh apakah ada pihak yang bantu," ujar Boy di kompleks Mabes Polri, Jakarta, Senin (9/1/2017).
"Hanya, kita belum bisa kasih kesimpulan ada auktor (intelektualis)," lanjut dia.
Penyidik mencari tahu sejauh mana pihak luar memengaruhi cara berpikir Bambang hingga merampungkan bukunya, termasuk pihak penyandang dana, karena buku ini dicetak secara independen. Sejauh ini diketahui ada 300 eksemplar yang dicetak dan dijual.
"Jadi, masih terus dilakukan upaya pendalaman lebih jauh untuk melihat keterkaitan orang lain di luar BTM. Harus ada alat bukti yang kuat," kata Boy.
Sebelumnya, Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian meyakini ada dalang yang menggerakkan terbitnya buku Jokowi Undercover selain penulisnya. Pasalnya, Bambang hanya lulusan sekolah menengah atas.
(Baca: "Jokowi Undercover", Tantangan Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis?)
Ia sempat mengemban perguruan tinggi, tetapi tidak sempat melanjutkannya. Terlebih lagi, isi buku Bambang tidak didukung dengan data dan referensi apa pun. Oleh karena itu, Tito meyakini, ada yang membantu Bambang dalam menulis bukunya.
"Kami akan dalami siapa yang menggerakkan, siapa yang mengajari dia," ujar Tito di Kompleks Mabes Polri, Jakarta, Rabu (4/1/2017).
"Kita akan lihat siapa di belakang dia. Kita akan usut," kata Tito.
Bambang diyakini tak memiliki kemampuan melakukan penelitian dan riset karena tingkat pendidikannya yang rendah.
(Baca: Mengapa Polisi Menduga Ada Dalang di Balik Buku "Jokowi Undercover"?)
Selain itu, dalam buku itu terdapat fotometriks, berupa penjajaran foto seseorang dan orang lain serta penjelasan tentang keterikatannya. Padahal, kata Tito, ia tak memiliki kemampuan untuk menganalisis wajah.
Bambang dianggap menyebarkan kebencian dan diskriminasi terhadap etnis dan ras tertentu dengan buku yang dia tulis.
Salah satu hal yang Bambang tulis dalam bukunya adalah menyebut Jokowi telah memalsukan data saat mengajukan diri sebagai calon presiden 2014 lalu. Ia juga menyebut Desa Giriroto, Boyolali, merupakan basis Partai Komunis Indonesia (PKI) terkuat se-Indonesia, padahal PKI telah dibubarkan sejak 1966.
Bambang menuliskannya seolah-olah hal tersebut nyata tanpa memiliki dokumen pendukung. Padahal, tuduhan yang dimuat pada buku itu didasarkan atas sangkaan pribadi Bambang.
(Baca: Polisi Anggap Penulis Belum Terbuka soal Pemasaran "Jokowi Undercover")
Bambang dikenakan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Bambang juga dijerat Pasal 28 ayat 2 UU ITE karena menyebarkan informasi untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Selain itu, Bambang dianggap melanggar Pasal 207 tentang penghinaan terhadap penguasa.