"Seperti memperpendek masa reses dari satu bulan menjadi dua minggu, memperpanjang waktu sidang, memperketat kunjungan luar negeri, mengecek langsung daftar hadir anggota, dan menetapkan target menyelesaikan tiga RUU bagi setiap komisi dalam setiap tahun," papar Made Leo.
(baca: Fahri Hamzah: Presiden Malu Menteri dan Anggota DPR Ditangkap Kasus Korupsi)
Saat ini, ketika kursi Ketua DPR kembali ke Novanto, ketentuan masa reses dan kunjungan kerja kembali seperti semula saat ia menjabat.
Hal itu, kata Made, seolah menunjukan bahwa setiap Ketua DPR menentukan kebijakan secara "suka-suka" dan parlemen tidak memiliki sistem kebijakan yang kuat.
"DPR tidak memiliki sistem kebijakan yang kuat karena bisa diubah sewaktu-waktu dengan selera Ketua DPR," tuturnya.
DPR, tutur Made Leo, cenderung akan bekerja sigap jika menyentuh kepentingan sendiri, namun begitu lambat ketika menyangkut kepentingan rakyat.
Ia mencontohkan daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang diubah sebanyak tiga kali sepanjang 2016.
Terakhir, DPR menambahkan revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).
Revisi UU MD3 hanya dilakukan secara terbatas, yaitu untuk menambah jumlah pimpinan DPR dan MPR guna mengakomodasi usulan PDI Perjuangan sebagai pemenang pemilu legislatif 2014.
Sementara itu, Koordinator Formappi Sebastian Salang mengatakan, model kompromi jangka pendek tersebut tidak akan mendorong DPR menjadi lebih baik. Hal itu, semata-mata hanya kepentingan politik.
"Ini betul-betul DPR suka-suka. Mengubah UU sesuai selera dan kepentingan jangka pendek. UU MD3 sama sekali tidak visioner untuk menghasilkan DPR kita yang berkualitas dan efektif dalam menjalankan fungsi," tutur Sebastian.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.