Di benak saya, payung dan Istana Merdeka adalah Sumarsih, ibu dari Norma Iriawan alias Wawan. Wawan adalah mahasiswa Universitas Atma Jaya Jakarta yang tewas ditembak entah oleh siapa dalam peristiwa Semanggi I, 13 November 1998.
Karena ingatan yang lekat itu, saya lantas menghubungi Sumarsih untuk sekadar bertanya kabar, Jumat (2/12/2016) malam. Dari ujung telepon, Sumarsih yang jernih suaranya memberi kabar kondisinya yang baik.
Saat tengah berbicara melalui telepon, Sumarsih tengah menunggu dokter di Rumah Sakit Graha Kedoya untuk suaminya, Arief Priyadi (66). Arief baru saja diangkat batu ginjalnya.
Di tengah pembicaraan telepon itu, dokter yang ditunggu datang. Sumarsih diberi tahu, suaminya bisa pulang, Jumat malam. Sumarsih bersyukur dan lega.
Meskipun mendampingi suaminya di rumah sakit, Sumarsih tetap bisa mengikuti berita yang terjadi di sekitar Istana Merdeka melalui media sosial juga.
Keteguhan hati
Soal payung yang dipakai Presiden Jokowi, Sumarsih mengatakan ukurannya sama dengan payung yang biasa dipakainya bersama para korban yang rutin menggelar aksi "Kamisan" di depan Istana Merdeka.
Warnanya saja yang berbeda. Presiden Jokowi memakai payung biru. Sumarsih dan para korban yang menggelar aksi memakai payung hitam.
Soal pilihan warna payung dan juga pakaian yang dipakai, yaitu hitam, Sumarsih menyebut itu sebagai tanda. Hitam bukan tanda duka, tetapi tanda keteguhan.
Sejak awal, Sumarsih dan para korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) menyadari perlunya keteguhan itu. Tanpa keteguhan, tidak mungkin aksi "Kamisan" dalam diam itu berlangsung sebanyak 470 kali.
"Kamisan" pertama digelar dalam diam pada 18 Januari 2007 dan terakhir dilakukan pada 1 Desember 2016. Lebih dari 10 tahun keteguhan hati itu dipelihara untuk nyalanya harapan penyelesaian masalah HAM masa lalu.
Tiga periode pemerintahan dilalui Sumarsih dan para korban yang tergabung dalam Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK). JSKK adalah paguyuban korban/keluarga korban pelanggaran HAM.
Diterima Presiden SBY
Sekitar setahun menggelar aksi "Kamisan" di depan Istana Merdeka, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuka pintu Istana. Didampingi Karlina Supeli dan Usman Hamid, enam perwakilan korban/keluarga korban bertemu Presiden SBY pada 26 Maret 2008.
Saat pertemuan, Sumarsih mencatat janji Presiden SBY. Untuk pelanggaran HAM masa lalu, hukum akan ditegakkan dan pengadilan HAM adhoc akan dibentuk sesuai undang-undang.