Lantas, apakah pemerintah masih membiarkan propaganda penegakan khilafah yang menolak negara demokrasi NKRI yang mendasarkan diri pada Pancasila? Membiarkan mereka mensponsori ratusan pemuda-pemuda Indonesia untuk bergabung dengan NIIS ke Suriah? Dan, membiarkan mereka menyebut Indonesia sebagai negara thogut?
Dengan dukungan infrastruktur dan dana yang kuat, gerakan kelompok radikal lebih aktif mengampanyekan eksklusivitas, militansi, radikalisme, dan bahkan kekerasan di ruang publik. Tak heran jika agenda dua organisasi keagamaan arus utama, Muhammadiyah dengan Islam Berkemajuan dan NU dengan Islam Nusantara, tenggelam oleh euforia propaganda mereka. Disinyalir, pengaruh serta gagasan ideologi dan puritanisasi mereka semakin meluas, bahkan sangat dimungkinkan sudah terjadi penetrasi di lembaga-lembaga pemerintah.
Sekali lagi, jangan anggap sepele gerakan kelompok radikal berjubah agama. Sebab, agama bisa dijadikan pembentuk kekuatan dahsyat dalam membangkitkan identitas emosional massa dibandingkan identitas sosial lain. Agama bisa memicu konflik bereskalasi mengerikan dengan intensitas tinggi, yang bisa memecah belah persatuan bangsa.
Muhammadiyah dan NU
Semoga pemerintah tanggap dan cepat merespons ancaman ini. Untuk menangkal radikalisme, di samping program deradikalisasi formal, dua agenda organisasi arus utama—Islam Berkemajuan, Islam yang mampu beradaptasi, mengakomodasi serta menyesuaikan diri dengan dinamika zaman; dan Islam Nusantara, yang merujuk model dakwahnya Walisongo dan konsep pribumisasinya almarhum Abdurrahman Wahid (Gus Dur)— bisa lebih digalakkan dan dipopulerkan. Bagaimanapun, tanpa Muhammadiyah dan NU, Indonesia bisa jatuh ke jurang kebiadaban dan kebengisan ekstrem, seperti terjadi di negeri-negeri Timur Tengah.
Terlepas dari itu semua, ada dua hal yang pantas direnungkan. Pertama, energi bangsa yang seharusnya bisa digunakan untuk mengatasi ketertinggalan dari kemajuan bangsa-bangsa lain menjadi terkuras karena persoalan perumusan ulang yang menyempitkan arti identitas dan justru berujung pada sikap saling memusuhi. Kedua, ketika bangsa- bangsa lain telah mendayagunakan akal dan pikirannya untuk mengeliminasi perbedaan antar- umat—emansipasi, agar bisa berkolaborasi dalam memajukan peradaban, justru ada sekelompok orang di negeri ini yang menciptakan penyekat—membuat jarak perbedaan antarsesama secara tak beradab dengan mengatasnamakan agama.
Barangkali Ludwig Andreas von Feuerbach (1804-1872) benar. Katanya, jika dahulu agama memproyeksikan kelemahan manusia, tetapi sekarang agama justru memproyeksikan keserakahan manusia (The Essence of Religion, 1845).
ADJIE SURADJI, ALUMNUS FAKULTAS SAINS UNIVERSITAS KARACHI, PAKISTAN
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 November 2016, di halaman 7 dengan judul "Ancaman Radikalisme".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.