JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah menginginkan agar Ketua DPR RI Ade Komarudin dan Ketua Umum DPP Partai Golkar Setya Novanto duduk bersama sebelum mengambil keputusan terkait posisi Ketua DPR RI.
Hal tersebut disampaikan Fahri menyikapi wacana Partai Golkar mengembalikan kursi Ketua DPR kepada Novanto.
"Saya sebagai kawannya Pak Akom (Ade Komarudin) dan Pak Novanto, saya membayangkan bahwa akan ada perbincangan yang mendalam di antara mereka," ujar Fahri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (22/11/2016).
(baca: Golkar Wacanakan Setya Novanto Kembali Jadi Ketua DPR)
Fahri menuturkan, mekanisme pergantian pimpinan DPR sebetulnya sudah diatur dalam tata tertib DPR dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).
Jika sudah ada surat pergantian, kata dia, ada tiga tahap yang harus dilewati, yaitu rapat pimpinan DPR, rapat badan musyawarah dan rapat paripurna.
Ia menyinggung Pasal 87 UU MD3 yang menyebutkan tentang mekanisme pemberhentian pimpinan DPR.
(baca: Golkar Putuskan Novanto Jadi Ketua DPR Lagi, Ini Kata Jokowi)
Dalam pasal tersbeut disebutkan bahwa pimpinan DPR diberhentikan jabatannya atas tiga alasan, yaitu meninggal dunia, mengundurkan diri atau diberhentikan.
Selanjutnya di Pasal 87 ayat (2) huruf d disebutkan bahwa pimpinan DPR dapat diberhentikan apabila diusulkan oleh partai politiknya sesuai peraturan perundang-undangan.
Fahri sebelumnya juga sempat terjerat pasal tersebut dan berada di posisi yang serupa dengan Ade Komarudin saat ini.
(baca: Ketua Baleg: Pergantian Ketua DPR Sepenuhnya Kewenangan Golkar)
Berdasarkan ketentuan Pasal 87 ayat (2) tersebut, kata Fahri, memang harus ada argumen jika pergantian Ketua DPR RI itu jadi dilakukan.
"Tidak bisa tanpa argumen. Yang itu (diberhentikan apabila diusulkan parpol sesuai peraturan perundang-undangan) memang debatable, maka ruang keputusannya ya tiga itu. Lewat rapim, bamus dan paripurna," kata Fahri.
Partai Golkar kembali mewacanakan mengembalikan kursi ketua DPR RI kepada Setya Novanto. Keputusan tersebut telah diputuskan pada rapat pleno DPP Partai Golkar.
Ketua Harian DPP Partai Golkar Nurdin Halid mengatakan, keputusan ini diambil dengan mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi terkait kasus "Papa Minta Saham" yang menyeret nama Novanto.
Keputusan MK tersebut dikuatkan dengan keputusan Mahkamah Kehormatan Dewan DPR RI yang tidak pernah menjatuhi hukuman untuk Novanto.
"Sudah bulat. Tinggal tunggu waktu melihat perkembangan politik ke depan," ujar Nurdin, saat dihubungi, Senin (21/11/2016).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.