Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemerintah Nilai Pembahasan RUU Antiterorisme Lamban, Ini Jawaban DPR

Kompas.com - 21/11/2016, 11:40 WIB
Nabilla Tashandra

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah beberapa waktu lalu menyampaikan bahwa pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme cukup lamban.

Hal tersebut salah satunya diungkapkan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto.

Terkait pernyataan tersebut, Wakil Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU Terorisme, Supiadin Aries Saputra mengatakan, ada beberapa hal yang menyebabkan pembahasan RUU Terorisme menjadi agak lama.

Pertama, berkaitan dengan ruang lingkupnya yang semakin luas. Banyak informasi-informasi baru pada seminar dan rapat dengar pendapat yang ditemukan pansus.

"Misalnya contoh ada konsep rehabilitasi di mana pemerintah harus hadir dalam menangani korban-korban pasca-bom," ujar Supiadin di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (21/11/2016).

Supiadin menuturkan, dari konsep yang diajukan pemerintah semula hanya ada konsep penindakan, bukan penegahan dan rehabilitasi.

Kedua, berkaitan dengan masa rapat Pansus RUU Terorisme yang hanya Rabu dan Kamis. Jadwal rapat tersebut juga kerap terganggu dengan rapat komisi atau rapat mendadak, misalnya rapat paripurna.

Oleh karena itu, pansus telah mengajukan penambahan waktu karena pada awalnya hanya diberi waktu kerja selama tiga kali masa sidang hingga persidangan pertama 2016/2017.

Ketiga, ada beberapa poin dalam revisi yang perlu mempelajari sistem penanganan terorisme dari negara lain. Misalnya soal dewan pengawas.

Pansus sempat mengagendakan kunjungan kerja luar negeri ke Inggris dan Amerika Serikat. Namun, terbentur peraturan pemotongan kunker keluar negeri.

Jika rencana kunker tersebut pada akhirnya tak diizinkan, kata Supiadin, maka pansus akan mencari referensi lain.

"Kami tidak ada maksud memperlambat. Banyak hal-hal teknis di lapangan yang harus kami adopsi dan pertimbangkan. Kami ingin ini cepat, tapi tidak tergesa-gesa," ujar Supiadin.

Sebelumnya pemerintah menganggap DPR RI terlalu lamban membahas RUU Terorisme. (Baca: Pemerintah Nilai DPR Lamban Bahas Revisi UU Anti-terorisme)

Peristiwa bom molotov yang menewaskan satu balita serta melukai tiga balita lainnya di Samarinda, 13 November 2016 lalu, merupakan salah satu indikatornya.

Seandainya revisi UU Antiterorisme cepat diputuskan, Wiranto yakin peristiwa bom molotov di Gereja Oikumene itu dapat dicegah sedini mungkin.

"Ya agak terlambat menurut saya," ujar dia, seusai rapat bersama Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (18/11/2016) sore.

"Saya minta supaya teman-teman di DPR segera meloloskan revisi UU Terorisme. Karena kita perlu itu. Aparat keamanan perlu senjata untuk melawan terorisme. Senjata ini bukan senjata api, ini senjata UU," kata dia.

Hal serupa juga diungkapkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly. Pernyataan tersebut diungkapkannya saat rapat dengar pendapat bersama Badan Legislasi DPR beberapa waktu lalu.

"RUU Terorisme sudah cukup lama tapi sampai sekarang seingat saya baru sekali raker (dengan Kemenkumham). Kita berharap ini bisa kita selesaikan bersama," tutur Yasonna.

Kompas TV Inilah Alasan Perlunya Revisi UU Terorisme

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Duka di Hari Pendidikan, Taruna STIP Tewas Dianiaya Senior

Duka di Hari Pendidikan, Taruna STIP Tewas Dianiaya Senior

Nasional
Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasional
Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Nasional
PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

Nasional
Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang 'Toxic' di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang "Toxic" di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Nasional
Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Nasional
BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena 'Heatwave' Asia

BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena "Heatwave" Asia

Nasional
Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang 'Online' dari Pinggir Jalan

Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang "Online" dari Pinggir Jalan

Nasional
Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk 'Presidential Club'...

Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk "Presidential Club"...

Nasional
Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Nasional
“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

Nasional
Prabowo Dinilai Bisa Bentuk 'Presidential Club', Tantangannya Ada di Megawati

Prabowo Dinilai Bisa Bentuk "Presidential Club", Tantangannya Ada di Megawati

Nasional
Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak Ada Rencana Bikin Ormas, apalagi Partai

Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak Ada Rencana Bikin Ormas, apalagi Partai

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Nasional
Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com