JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah diketahui belum melibatkan Kementerian Pertahanan dalam penyusunan Revisi Undang-undang (RUU) Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Padahal, Kementerian Pertahanan dianggap sebagai salah satu unsur penting dalam pembahasan.
Hal itu diakui oleh Direktur Jenderal Kekuatan Pertahanan Kementerian Pertahanan Mayor Jenderal Bambang Hartawan, yang datang mewakili Menteri Pertahanan, Ryamizard Ryacudu dalam rapat Panitia Khusus (Pansus) RUU Antiterorisme.
"Kami tidak menyalahkan pemerintah. Mohon maaf, kalau Bapak lihat usulan pemerintah yang sudah diparaf oleh menteri-menteri kebetulan di situ Menteri Pertahanan tidak diminta parafnya," ujar Bambang saat rapat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (20/10/2016).
Ia menambahkan, saat itu Menteri Pertahanan memang tak memberikan paraf dalam draf RUU Antiterorisme. Sebab, Menhan merasa tak diundang dalam penyusunan draf RUU Antiterorisme.
Sehingga saat dilakukan sinkronisasi oleh Kementerian Hukum dan HAM, Ryamizard tidak memberikan paraf karena merasa tak diajak dalam pembahasan.
Namun, Bambang mengaku Kementerian Pertahanan telah menyiapkan draf RUU Antiterorisme yang belum sempat diterima.
"Menteri Pertahanan waktu itu sempat marah-marah pada kami, kok bisa terjadi seperti itu. Kok kami tidak diajak ngomong," kata Bambang.
Menanggapi hal itu, Ketua Pansus UU Pemberantasan Terorisme Muhammad Syafi'i menilai, semestinya pemerintah yang diwakili Kementerian Hukum dan HAM bisa mengkoordinasikan penyusunan draf RUU secara lebih baik.
"Ke depan hal ini tak boleh terjadi lagi, makanya tadi begitu perwakilan Menteri Pertahanan ngomong ke saya, langsung saya minta draf versi mereka," tutur Syafi'i.
(Baca juga: Ketua Pansus: Semua Sepakat Libatkan TNI Berantas Terorisme Bukan sebagai BKO)