JAKARTA, KOMPAS.com - Politisi Partai Golkar Budi Supriyanto merasa keberatan atas putusan Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, yang menjatuhkan vonis 5 tahun penjara kepadanya.
Melalui pengacaranya, Budi mengajukan upaya hukum banding.
Anggota tim pengacara Budi Supriyanto, Unoto Dwi Yulianto mengatakan, banding diajukan karena vonis untuk Budi supriyanto lebih berat dari anggota DPR lainnya yang terlibat suap, Damayanti Wisnu Putranti.
Damayanti divonis 4,5 tahun oleh Pengadilan Tipikor.
"Padahal Damayanti adalah inisiator yang menawarkan dan membujuk Budi agar ikut mengalokasikan program aspirasinya di Maluku sebagaimana Damayanti," ujar Unoto, saat dikonfirmasi, Jumat (18/11/2016).
Selain itu, pengembalian gratifikasi yang dilakukan Budi dalam jangka waktu 19 hari sejak diterima, tidak dipertimbangkan hakim.
(Baca: Politisi Golkar Budi Supriyanto Divonis 5 Tahun Penjara)
Padahal, sesuai undang-undang, gratifikasi wajib dilaporkan sebelum 30 hari sejak diterima.
Di sisi lain, hakim justru mengabulkan permohonan justice collabolator yang diajukan Damayanti.
"Padahal kualitas pelaporan gratifikasi sebagai itikad baik, menurut ahli pidana kualitas derajatnya lebih tinggi daripda menjadi JC," kata Unoto.
Sebelumnya, Jaksa penuntut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga mengajukan banding atas putusan Budi Supriyanto.
Jaksa KPK menilai putusan hakim jauh lebih ringan dari tuntutan.
Budi Supriyanto dituntut 9 tahun penjara oleh Jaksa penuntut KPK. Budi juga dituntut membayar denda Rp 300 juta subsider 4 bulan kurungan.
Namun, anggota Komisi V DPR tersebut dijatuhi hukuman 5 tahun penjara oleh Majelis Hakim pada Pengadilan Tipikor Jakarta.
Budi juga diwajibkan membayar denda Rp 300 juta subsider 2 bulan kurungan.
Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menilai perbuatan Budi tidak mendukung upaya pemerintah dalam pemberantasan korupsi.
(Baca: Putusan Budi Supriyanto Dianggap Terlalu Ringan, Jaksa KPK Ajukan Banding)
Perbuatannya telah merusak check and balances antara legislatif dan eksekutif.
Selain itu, tindakannya telah membuat proyek pembangunan infrastruktur di Maluku dan Maluku Utara dibatalkan.
Budi terbukti menerima suap sebesar 404.000 dollar Singapura atau senilai Rp 4 miliar dari Direktur PT Windhu Tunggal Utama Abdul Khoir.
Suap tersebut diberikan agar Budi menyalurkan program aspirasinya untuk pembangunan infrastruktur jalan di Maluku dan Maluku Utara.
Adapun program aspirasi tersebut diusulkan masuk dalam Rancangan Pendapatan dan Belanja Negara (R-APBN) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tahun 2016.
Selain itu, suap tersebut untuk menyepakati bahwa PT Windhu Tunggal Utama akan menjadi pelaksana proyek.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.