Media sosial menyediakan diri sebagai penyampai berita yang efektif yang mampu menjangkau jauh lebih banyak orang dan komunitas. Semua kendala cara penyebaran tumbang, karena tanpa batas ruangan dan waktu dengan upaya jauh lebih ringan dan nyaris tanpa biaya.
Ketika ibu-ibu ngerumpi, bergosip saat berjumpa di ujung gang sepulang belanja di pasar, akibat paling tinggi penggosipnya dilabrak. Paling banter cakar-cakaran, dilerai, lalu didamaikan, dan selesai.
Masalahnya, masyarakat kini memindahkan gang dan warung kopi ke ponsel yang punya fasilitas digital data, namun cara berpikir mereka masih tidak beranjak dari dua lokasi itu.
Ketika gosip muncul di Twitter, Facebook, Instagram, atau sekadar tampilan status orang yang kadang tidak dikenalnya, hanya dengan sekali klik bisa disebarkan ke orang lain dalam hitungan deret ukur atau kuadrat, bisa ratusan ribu tujuan sekaligus.
Faktor nuansa selain kemampuan pencernaan kata berbeda pada tiap orang, membuat isu menjadi bola liar. Apalagi jika dalam perjalanannya isu tadi sempat disunting sebelum disebarkan lagi.
Kehilangan kambing
Mengubah budaya gosip tidak mudah, sebab ngerumpi, meng-ghibah, walau dilarang agama Islam, bagi banyak orang merupakan kenikmatan. Celakanya kegiatan ini malah makin menggila ketika media sosial diperkenalkan.
UU No 11/2008 tentang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) mestinya mampu meredakan pengunggahan ujaran kebencian (hate speech) namun sebaliknya, justru makin marak. Masyarakat merasa media sosial sangat cocok menjadi penyalur kekesalan mereka.
Apalagi karena ancaman hukumannya "hanya" empat tahun sehingga polisi tidak bisa lagi serta merta menahan pelanggarnya sebelum proses peradilan. Pelaku hate speech pun bisa tetap tenang sepanjang tidak ada laporan dari korban kata-kata kebencian tadi.
Hate speech, hujatan, memaki, fitnah, adu domba dan provokasi, bisa berbalik menjadi tindak pidana ke penulis dan yang mengunggahnya di media sosial. Namun, masyarakat belum terbiasa melaporkan hujatan-hujatan tadi sebagai pencemaran nama baik, karena trauma masa lalu.
Hingga belum lama ini, melapor ke aparat penegak hukum dianggap akan merugikan diri sendiri, seperti ungkapan lapor kehilangan ayam malah kehilangan kambing. Apalagi ketika yang dilaporkan pejabat publik atau orang kuat, trauma ini sangat terasa.
Hate speech merupakan delik aduan, sehingga ketika sekelompok orang yang melaporkan adanya penghinaan kepada Presiden Jokowi lewat media sosial, polisi tidak dapat mengusutnya, kecuali kalau Jokowi yang melapor.
Karenanya jika sasaran adalah bangsa atau personal yang maya, misalnya adu domba dan provokasi, negara atau Menkominfo-lah yang harus mengadu ke polisi.
Dikhawatirkan, sejalan dengan makin maraknya ungkapan-ungkapan kata-kata kebencian, polisi akan kewalahan dalam menanganinya.
Mudah-mudahan tindak pidana hate speech tidak seperti pelanggaran lalu lintas yang sudah marak yang kemudian cenderung dianggap menjadi kebiasaan yang dibolehkan karena faktor penegak hukum yang kewalahan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.