JAKARTA, KOMPAS.com - Diana Handayani percaya bahwa keberagaman merupakan sebuah keniscayaan.
Tidak ada jalan lain bagi setiap orang kecuali mengenali, memahami, dan menerima keberagaman tersebut.
Perempuan yang sehari-hari tinggal di Cimahi itu, menyadari lingkungannya yang plural.
Masyarakat Cimahi terdiri dari berbagai macam latar belakang keyakinan, baik Islam, Kristen, Buddha, Hindu, Katolik, bahkan kelompok Ahmadiyah.
Setiap kelompok, menurut Diana, memiliki hak yang sama, tanpa diskriminasi.
Ia berpandangan, sebuah kota harus menjadi inklusif dengan menghargai keberagaman sebagai salah satu aset bangsa.
Bersama rekan-rekannya di Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) Pimpinan Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Cimahi, Diana membuat ruang dialog kelompok lintas agama.
Menurut Diana, kesadaran akan keberagaman tidak akan tercipta tanpa adanya komunikasi yang terbuka.
"Kami ingin menciptakan ruang-ruang pertemuan untuk berdialog. Tidak hanya formal tapi juga informal," ujar Diana, saat ditemui dalam Pertemuan Nasional Program Peduli Lakpesdam PBNU, di Hotel Kartika Chandra, Jakarta, Senin (7/11/2016).
Diana mengatakan praktik membangun hubungan antarkelompok mengharuskan adanya ruang interaksi yang terbuka agar setiap orang mampu menghilangkan prasangka.
Ketika prasangka bisa dikesampingkan, maka akan mudah untuk membangun inklusivitas.
Ruang dialog informal bisa dimulai dengan cara sederhana. Misalnya, Lakpesdam Cimahi pernah membuat kegiatan mengolah kain perca untuk kaum ibu.
Kegiatan tersebut melibatkan ibu-ibu dari berbagai kelompok lintas agama.
Tujuannya, agar terbangun rasa pertemanan, kemudian berubah menjadi persahabatan yang berujung pada keinginan untuk bekerja sama.
Diana menuturkan, perubahan yang terjadi jelas terlihat dari hilangnya prasangka negatif terhadap orang lain yang berbeda keyakinan.