JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Imparsial Al Araf menyoroti pembiaran Presiden Joko Widodo terhadap dugaan pelanggaran tugas, pokok dan fungsi institusi TNI.
Araf mengatakan, saat ini TNI menjalani 30 kerja sama dengan pihak lain. Implementasi kerja sama tersebut adalah pengerahan personel TNI.
Kerja sama semacam itu melanggar Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
"Berdasarkan UU itu, operasi militer selain perang, wajib mendapatkan persetujuan Presiden. Selama ini kan tidak ada," ujar Araf di kantornya, bilangan Jakarta Selatan, Rabu (19/10/2016)
(Baca: TNI Sebaiknya Tak Berpolitik untuk Jaga Netralitas)
Imparsial mencatat, kerja sama itu berupa pengerahan personel TNI untuk bertugas menjaga area eksplorasi tambang, pengerahan personel TNI dalam penggusuran bangunan liar dan lain-lain.
"Itu kan TNI terjun semua. Itu juga operasi militer selain perang. Tapi enggak ada persetujuan Presiden pada itu semua. Ini kan melanggar UU," ujar Araf.
"Operasi militer selain perang dalam level tertentu. Misalnya bencana alam. Itu sesuatu yang baik dan positif. Tapi kalau sudah lebih dari itu melanggar UU namanya," lanjut dia.
Keberadaan personel TNI melalui kerja sama tersebut, dinilai Araf berbahaya.
Selain hal itu bentuk intervensi militer di ranah sipil, hal itu sangat berpotensi terjadinya pelanggaran hak asasi manusia.
Imparsial meminta Presiden Joko Widodo mengevaluasi kerja sama TNI dan pihak-pihak di luar lembaga negara terkait pengerahan personel itu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.