Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Fajar Arif Budiman
Pemerhati Kebijakan Publik

Menyelesaikan studi Magister Kebijakan Publik di Universitas Padjadjaran. Saat ini menjadi pemerhati dan peneliti kebijakan publik di Akar Rumput Strategic Consulting

Supremasi Hukum ala Jokowi

Kompas.com - 14/10/2016, 14:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

KOMPAS.com — Operasi tangkap tangan (OTT) pungutan liar yang dilakukan oleh Polri terhadap staf Kementerian Perhubungan berhasil memperoleh barang bukti berupa uang tunai puluhan juta rupiah dan buku tabungan dengan jumlah saldo Rp 1 miliar. Dalam operasi ini ditangkap sejumlah orang staf yang kemudian ditetapkan sebagai tersangka.

Meski angka transaksi dalam operasi tangkap tangan ini terbilang tidak fantastis, gebrakan Jokowi berduet dengan Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian ini merupakan tindakan terhadap sebuah fenomena "permukaan gunung es" yang saya harap dapat dijadikan jalan masuk untuk memberantas praktik-praktik pungutan liar (pungli) yang lebih besar.

Selain melanggar hukum, secara substantif, praktik pungli amat merugikan rakyat dan mencederai kinerja pelayanan publik yang seharusnya bersih dan berkualitas sebagai sebuah kewajiban negara secara normatif terhadap seluruh rakyat.

Selama ini, pungli telah menjadi praktik yang kerap dilakukan oleh aparatur pelayanan publik baik di pusat maupun daerah. Hal tersebut terjadi berulang dalam kurun waktu yang lama sehingga masyarakat pun lambat laun melihat hal tersebut sebagai hal yang wajar.

Bahkan, muncul stigma di sebagian masyarakat yang menganggap bahwa membayar sejumlah biaya di luar ketentuan merupakan hal yang harus dilakukan agar urusannya dengan pemerintah terkait pengurusan dokumen-dokumen negara bisa lancar.

Pengusaha bahkan sudah jauh-jauh hari harus mengalokasikan sejumlah angka untuk mengantisipasi pungli dalam pengurusan administrasi bisnisnya. Bukan rahasia lagi bahwa mengurus KTP masih begitu, kartu keluarga begitu, paspor juga begitu, dan seterusnya.

Saya memberi dukungan dan simpati atas komitmen Jokowi memberantas pungli. Tercatat, sering kali Presiden Jokowi melaksanakan rapat terbatas (ratas) pemberantasan pungli dan membentuk program Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli).

Hanya berselang beberapa waktu dari ratas tersebut, terjadi operasi di Kementerian Perhubungan yang menghasilkan sejumlah barang bukti dan tersangka.

Di hadapan media massa, Presiden Jokowi memperingatkan kepada semua instansi untuk menghentikan pungli, terutama yang berkaitan dengan pelayanan terhadap masyarakat.

Problemnya adalah, menurut saya, upaya pemberantasan ini tidak akan berhasil kecuali dilaksanakan secara holistik, konsisten, dan komprehensif, tidak sekadar pencitraan. Bahkan, tak sedikit yang menuduh OTT Kemenhub adalah sebuah upaya pengalihan isu dari situasi yang terjadi terkait dinamika politik yang tajam jelang Pilgub Jakarta 2017.

Pemberantasan pungli, praktik suap, dan tindak koruptif lainnya, jika akan dilakukan secara serius, harus dilaksanakan secara simultan, tidak hanya di instansi penyedia pelayanan publik, tetapi juga di instansi-instansi penegak hukum.

Hal ini menjadi sangat penting karena, seperti yang kita ketahui, terdapat adagium yang muncul di masyarakat, yakni “tidak mungkin membersihkan lantai menggunakan sapu yang kotor”. Tampaknya adagium itu sangat tepat digunakan dalam konteks pemberantasan pungli dan praktik pelanggaran hukum lainnya.

Selanjutnya, secara sosio-antropologis, saya melihat bahwa praktik pungutan liar merupakan dampak dari budaya feodalisme dan relasi patronase yang masih dipraktikkan di masyarakat kita secara sadar ataupun tidak.

Dalam relasi patron klien yang feodalistis tersebut, aparatur pemerintahan yang berkewajiban melayani masyarakat justru ditempatkan, atau menempatkan diri, pada posisi yang lebih tinggi dibandingkan masyarakat itu sendiri.

Oleh karena itu, masyarakat dianggap sudah sepantasnya memberikan “uang terima kasih” kepada aparatur karena mereka sudah bersedia bekerja untuk masyarakat.

Tentu saja paradigma relasi sosial seperti ini sudah tidak layak lagi digunakan di era kekinian. Oleh karena itu, pendekatan sosio kultural harus turut menjadi pertimbangan dalam perumusan strategi pemberantasan pungli.

Masyarakat menyambut positif segala upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh Presiden beserta jajarannya. Penegakan hukum yang tegas juga harus disertai dengan edukasi terhadap masyarakat agar masyarakat paham bahwa pungutan liar adalah sesuatu yang melanggar hukum dan merugikan perkembangan sebuah negara-bangsa yang sehat.

Kesimpulannya, apa pun pendekatan yang dipilih, sebagai penguasa saat ini, rezim Jokowi harus memanfaatkan kekuasaannya untuk membangun legacy pemerintahannya secara tepat, yaitu menjadi rezim yang tegas, berani, dan konsisten dalam menindak para pelaku pungli, korupsi, dan penghisap "darah" rakyat, bukan pencitraan, bukan strategi politik, apalagi sekadar manuver musiman.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Bingung dengan Objek Gugatan PDI-P di PTUN, KPU Bingung Mau Siapkan Jawaban

Bingung dengan Objek Gugatan PDI-P di PTUN, KPU Bingung Mau Siapkan Jawaban

Nasional
Gugat Dewas ke PTUN hingga 'Judicial Review' ke MA, Wakil Ketua KPK: Bukan Perlawanan, tapi Bela Diri

Gugat Dewas ke PTUN hingga "Judicial Review" ke MA, Wakil Ketua KPK: Bukan Perlawanan, tapi Bela Diri

Nasional
Sengketa Pileg, PPP Klaim Suara Pindah ke Partai Lain di 35 Dapil

Sengketa Pileg, PPP Klaim Suara Pindah ke Partai Lain di 35 Dapil

Nasional
Pemerintah Akan Bangun Sekolah Aman Bencana di Tiga Lokasi

Pemerintah Akan Bangun Sekolah Aman Bencana di Tiga Lokasi

Nasional
KPK Pertimbangkan Anggota DPR yang Diduga Terima THR dari Kementan jadi Saksi Sidang SYL

KPK Pertimbangkan Anggota DPR yang Diduga Terima THR dari Kementan jadi Saksi Sidang SYL

Nasional
PDI-P Sebut Prabowo-Gibran Bisa Tak Dilantik, Pimpinan MPR Angkat Bicara

PDI-P Sebut Prabowo-Gibran Bisa Tak Dilantik, Pimpinan MPR Angkat Bicara

Nasional
Cak Imin Sebut Pemerintahan Jokowi Sentralistik, Kepala Daerah PKB Harus Inovatif

Cak Imin Sebut Pemerintahan Jokowi Sentralistik, Kepala Daerah PKB Harus Inovatif

Nasional
Pemerintah Akan Pastikan Status Tanah Warga Terdampak Erupsi Gunung Ruang serta Longsor Tana Toraja dan Sumbar

Pemerintah Akan Pastikan Status Tanah Warga Terdampak Erupsi Gunung Ruang serta Longsor Tana Toraja dan Sumbar

Nasional
Ahmed Zaki Daftarkan Diri ke PKB untuk Pilkada DKI, Fokus Tingkatkan Popularitas

Ahmed Zaki Daftarkan Diri ke PKB untuk Pilkada DKI, Fokus Tingkatkan Popularitas

Nasional
Sengketa Pileg, Golkar Minta Pemungutan Suara Ulang di 36 TPS Sulbar

Sengketa Pileg, Golkar Minta Pemungutan Suara Ulang di 36 TPS Sulbar

Nasional
Mendagri Sebut Biaya Pilkada Capai Rp 27 Triliun untuk KPU dan Bawaslu Daerah

Mendagri Sebut Biaya Pilkada Capai Rp 27 Triliun untuk KPU dan Bawaslu Daerah

Nasional
Airin Ingin Bentuk Koalisi Besar untuk Mengusungnya di Pilkada Banten

Airin Ingin Bentuk Koalisi Besar untuk Mengusungnya di Pilkada Banten

Nasional
Sebut Warga Ingin Anies Balik ke Jakarta, Nasdem: Kinerjanya Terasa

Sebut Warga Ingin Anies Balik ke Jakarta, Nasdem: Kinerjanya Terasa

Nasional
Caleg PSI Gugat Teman Satu Partai ke MK, Saldi Isra: Berdamai Saja Lah

Caleg PSI Gugat Teman Satu Partai ke MK, Saldi Isra: Berdamai Saja Lah

Nasional
Irigasi Rentang Targetkan Peningkatan Indeks Pertanaman hingga 280 Persen

Irigasi Rentang Targetkan Peningkatan Indeks Pertanaman hingga 280 Persen

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com