JAKARTA, KOMPAS - Indonesia Corruption Watch mengingatkan semua pihak untuk mewaspadai potensi terjadinya penyimpangan dana hibah dan bantuan sosial di 101 daerah pada Pilkada 2017. Publikasi terbuka penggunaan dana hibah dan bansos dapat mencegah penyimpangan anggaran.
Deputi Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan mengatakan, menjelang pemilihan umum biasanya ada kecenderungan penyimpangan dalam penyaluran besar-besaran dana hibah dan bansos untuk memenangi pemilu.
”Oleh karena itu, transparansi pemberian dana hibah dan bansos menjadi solusi. Harus dipublikasikan, siapa saja yang menerima dana itu? Berapa besaran uang yang diterima? Mengapa dia yang diberikan dan sebagainya?” ujar Ade pada seminar nasional Transparansi dan Akuntabilitas Pendanaan Organisasi Kemasyarakatan/LSM dari APBN dan APBD,” di Jakarta, Kamis (29/9).
Menurut dia, titik rawan korupsi pemilu selama ini adalah penggunaan sumber daya negara seperti APBN atau APBD untuk kepentingan pemenangan pemilu oleh oknum-oknum tertentu. Adapun bentuk penyimpangan yang kerap terjadi antara lain dengan membuat organisasi abal-abal atau organisasi yang merupakan bagian dari tim pendukung calon. Selain itu, ada juga modus seperti memotong anggaran hibah dan bansos yang hendak betul-betul disalurkan untuk organisasi yang resmi.
”Lonjakan dana hibah ataupun bansos bisa mencapai 50-100 persen dibandingkan dengan anggaran tahun sebelumnya. Untuk konteks Pilkada 2017, kenaikan anggaran dana hibah dan bansos terjadi pada anggaran tahun 2016 dan 2017,” kata Ade.
Contoh kasus korupsi penyaluran dana hibah dan bansos yang terungkap KPK adalah menyangkut mantan Gubernur Sumatera Utara Gatot Pudjo Nugroho. Gatot akhirnya dipidana akibat penyimpangan dalam penyaluran dan penggunaan dana hibah dan bansos Provinsi Sumatera Utara 2012-2013.
Hal senada disampaikan Kepala Seksi Kemitraan Organisasi Masyarakat Kementerian Dalam Negeri Salman. Ia mengingatkan agar pemerintah daerah berhati-hati soal anggaran dana hibah dan bansos. Apalagi kecenderungannya, alokasi dana hibah dan bansos selalu digelembungkan nilainya menjelang pilkada.
”Ingat dana hibah dan bansos tidak wajib dalam sebuah penganggaran. Jika ada (dana hibah dan bansos) baik, tetapi itu tak diwajibkan,” ujar Salman.
Hal itu sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 2016 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari APBD.
Berlangsung alot
Dari informasi yang diterima Kompas, pembahasan aturan turunan mengenai penanganan politik uang dalam Peraturan Badan Pengawas Pemilu berlangsung alot. Meski demikian, draf Peraturan Bawaslu itu ditargetkan sudah dapat dikonsultasikan ke Komisi II DPR pada awal Oktober ini.
Penyebab alotnya pembahasan Perbawaslu karena Pasal 187 A Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada mengatur sanksi pidana politik uang. Sementara Pasal 73 Ayat 2 UU itu juga mengatur sanksi pembatalan calon yang terlibat politik uang. Padahal, Pasal 135A Ayat 1 UU tersebut juga mensyaratkan pembatalan pencalonan hanya dilakukan jika hal itu dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).
Menurut anggota Bawaslu, Nasrullah, ada usulan dari sebagian anggota Komisi II agar TSM dibatasi, misalnya dengan persentase 50 persen plus 1 atau 30 persen. Dengan kata lain, ada ambang batas, tetapi ada kekhawatiran hal ini bisa dianggap melegalkan tindakan di bawah batasan itu,” ujarnya.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Fadli Ramadhanil, mengatakan, kualifikasi TSM dalam Perbawaslu seharusnya disebutkan sebagai pemberi dampak pada penyelenggaraan pemilihan langsung, umum, bebas, rahasia, dan jujur serta adil. (C11/GAL)
Versi cetak artikel ini terbit di harian "Kompas" edisi 30 September 2016, di halaman 4 dengan judul "Waspadai Penyimpangan Dana Hibah dan Bansos"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.