Pengantar Redaksi:
Pendiri Kompas Gramedia, Jakob Oetama, genap berusia 85 tahun pada hari ini, Selasa (27/9/2016).
Sebagai sebuah refleksi atas nilai yang telah diwariskan Jakob Oetama, redaksi Kompas.com menyajikan rangkaian tulisan mengenai perjalanan hidup Jakob Oetama.
Tulisan tidak hanya merangkum perjalanan hidupnya dalam membesarkan Kompas Gramedia yang didirikannya, namun juga warna kehidupannya sebagai seorang pendidik, seorang wartawan, dan seorang pengusaha.
Meski begitu, peran terakhirnya selalu dijalani dengan kerendahan hati. Sebab, seorang Jakob Oetama lebih senang dan bangga disebut wartawan, ketimbang pengusaha.
--
Duet Jakob-Ojong
Jakob Oetama percaya bahwa kehidupan memiliki jalan yang telah diatur oleh Sang Maha Kuasa. Providentia Dei.
Karena itu, meskipun cita-cita menjadi pastor atau guru akhirnya ditinggalkan, namun itu tidak membuat Jakob menyesali pilihannya menjadi wartawan.
Sejumlah nama di ranah jurnalistik membuat Jakob tidak menyesali pilihan tersebut. Beberapa nama itu di antaranya adalah Pastor JW Oudejans OFM, Rosihan Anwar, dan Petrus Kanisius Ojong.
Jakob mengaku banyak belajar untuk mengasah kepekaan intelektual dan nurani kemanusiaan dari mereka.
"Saya banyak belajar ini, dan tidak menyesal ketika beralih dari cita-cita guru ke wartawan," tutur Jakob, dikutip dari buku Syukur Tiada Akhir (2011).
Namun, sosok yang begitu melekat dan dekat dalam perjalanan hidup Jakob adalah PK Ojong.
Tuhan memang mempertemukan keduanya sebagai duet di balik berdirinya grup Kompas Gramedia. Namun, jalan hidup Jakob dan Ojong berkelindan sebelum keduanya bekerja sama untuk membangun perusahaan.
Keduanya bertemu saat menjalankan tugas sebagai wartawan. Jakob aktif mengelola majalah Penabur. Sedangkan Ojong memimpin Keng Po dan Star Weekly. Kesamaan pandangan politik juga membuat keduanya mudah berinteraksi.
Hingga suatu saat, Ojong mengajak Jakob menemui Pemimpin Umum Star Weekly, Khoe Woen Sioe. Itu terjadi pada April 1961, sebelum Jakob lulus dari Universitas Gadjah Mada.
Kepada Khoe, Ojong menilai Jakob sebagai sosok tepat untuk menggantikan dia sebagai pemimpin redaksi Star Weekly. Ojong saat itu dikenal sebagai sosok yang tidak disukai pemerintah, dan ini menjadikan Star Weekly memiliki tanda-tanda akan ditutup.
Akan tetapi, Jakob menolak tawaran itu dengan alasan masih fokus untuk menyelesaikan kuliah.
Tak lama kemudian, Ojong kembali menemui Jakob. Kali ini dengan tawaran lain, untuk membuat majalah baru.
Ojong menawarkan konsep majalah serupa Reader's Digest. Konten akan diisi bermacam sari pati ilmu pengetahuan dan teknologi dunia.
Konsep itu kemudian melahirkan majalah Intisari pada Agustus 1963. Meski berlandaskan kemanusiaan, Intisari juga dihadirkan sebagai pandangan politik keduanya yang menolak belenggu masuknya informasi dari luar.
Intisari dimaksudkan untuk menjadi pendobrak politik isolasi yang dilakukan pemerintahan Soekarno saat itu. Namun, bukan dengan tulisan yang menyerang, melainkan "tedeng aling-aling".
Ojong dan Jakob merasa perlu hadirnya media yang memuat artikel yang membuka mata dan telinga masyarakat. Sebuah media yang kaya dengan gaya human story, penuh nilai kemanusiaan.
Biji sesawi
Setelah izin diproses, maka terbitlah Intisari edisi pertama pada 17 Agustus 1963. Terbit dengan desain kompak berukuran 14 x 17,5 sentimeter dan setebal 128 halaman, edisi perdana dibidani tiga orang.
Selain Jakob dan Ojong, orang ketiga di balik lahirnya Intisari adalah J Adisubrata.
Edisi kedua, Intisari mendapat tambahan tenaga baru, yaitu Irawati. Untuk memperkaya isi, Jakob dan Ojong menghubungi sejumlah orang yang benar-benar menguasai bidangnya.
Nama ekonom Widjojo Nitisastro, yang nantinya dikenal sebagai arsitek utama perekonomian Orde Baru, bersedia menyumbang tulisan.
Tidak hanya itu, duet Jakob dan Ojong juga tidak ragu keluar-masuk kampung demi menemui ahli ilmu purbakala dan sastra Jawa Kuno, RM Ng Poerbatjaraka.
Kerja keras dalam membangun Intisari dimaknai Jakob seperti menanam biji sesawi. Berawal dari cita-cita teguh, "biji sesawi" itu kemudian tumbuh melahirkan "karya-karya" lain.
Intisari menjadi benih yang kemudian menginspirasi untuk melahirkan "taman bunga", yang kemudian dikenal sebagai kelompok Kompas Gramedia.
"Semua berkat kerja keras, kerja bersama disertai doa. Inilah sintesa kerja keras dan doa," tutur Jakob.
***
Baca juga rangkaian tulisan Jakob Oetama yang lain:
- Jakob Oetama, Bermula sebagai Seorang Guru
- Persimpangan Pilihan Jakob Oetama, Menjadi Guru atau Wartawan...