Cara korupsi 200 tahun lalu mirip dengan zaman sekarang. "Wani piro" yang diwujudkan dalam suap juga sudah terjadi di era dua abad lalu.
Raden adipati Joyodiningrat (Bupati Karanganyar 1832-1864), seorang pendukung Pangeran Diponegoro menulis naskah pertama tentang isu korupsi di Jawa. Begini potongan bunyinya:
"Agar perkara selesai, segalanya tergantung kehendak Raden Adipati Danurejo IV: barang siapa yang menyerahkan sogok dan upeti paling banyak berupa uang atau barang atau khususnya perempuan cantik, dialah yang akan dibuat menang."
Setelah Perang Jawa, kita memang sudah merdeka. Tiga orde yaitu orde lama, orde baru, dan orde reformasi telah kita lalui. Namun, seperti ditulis Carey, kita seperti terbelit dan beku.
Perilaku kita yang tercermin dalam diri pejabat-pejabat kita ternyata sama saja. Pergantian orde yang gegap gempita terasa hanya sebagai jeda saja. Setelah gegap gempita, kita kembali ke perilaku lama.
Mungkin kita malu mengakui perilaku kita yang nyaris tetap sama. Untuk menutup malu, tanda-tanda jasa yang disematkan di dada pejabat kita yang korup mungkin sedikit membantu.
Sekadar contoh, selain luwes menyatakan antikorupsi dan meminta koruptor dihukum berat, Irman Gusman adalah penerima Bintang Mahaputra Adipradana tahun 2010 dari negara .
(Baca: Irman Gusman Dianugerai Tanda Kehormatan)
Tanda kehormatan ini merupakan penghargaan untuk mereka yang berjasa besar di suatu bidang atau peristiwa tertentu yang bermanfaat bagi kemajuan, kesejahteraan, dan kebesaran bangsa dan negara.
Karena tanda kehormatan ini masih tersemat, Irman Gusman dengan statusnya sebagai tersangka korupsi niscaya bermanfaat untuk kemajuan, kesejahteraan, dan kebesaran bangsa dan negara.
Manfaat Irman Gusman paling nyata adalah mengingatkan kita bahwa perilaku kita yang tercermin dari pejabat-pejabat kita tetap sama meski dua abad telah berlalu.
Tidak heran jika Ketua KPK Agus Rahardjo mengawali jumpa pers penangkapan Irman Gusman dengan kalimat, "Dengan penuh keprihatinan...."
Saat mengatakan kalimat itu, Agus Rahardjo mengambil nafas dalam-dalam.
Tamparan selop kanan Diponegoro masih pedas terasa di wajah-wajah kita meskipun dua abad jarak waktunya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.