JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi Widodo Eddyono menilai gagasan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar koruptor juga dikenai beban membayar biaya sosial merupakan terobosan hukum.
Namun, menurut Supriyadi, KPK harus hati-hati dalam merumuskan ancaman pidana, terlebih dengan penggabungan perkara perdata dan pidana yang tercantum dalam Pasal 98 KUHAP.
Dalam kajian KPK, biaya sosial korupsi ini dapat dilakukan dengan penerapan penggabungan perkara pidana dan perdata melalui gugatan anti kerugian sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 98 KUHAP.
(Baca: Hukuman Biaya Sosial bagi Koruptor Diyakini Timbulkan Efek Jera)
Supriyadi mengatakan, Pasal 98 KUHAP justru tidak memadai untuk diterapkan dalam penanganan perkara korupsi sebab dalam rezim hukum pidana sekarang, sulit untuk merumuskan pidana implisit dan eksplisit.
Dia menjelaskan, salah satu asas yang terdapat dalam asas legalitas adalah lex certa. Artinya tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas.
"Inisiatif KPK bagus buat terobosan hukuman. Tapi harus hati-hati dalam merumuskan ancaman pidana, apalagi dengan penggabungan perkara melalui pasal 98. Susah merumuskan prinsip lex certa-nya, ancaman pidana harus pasti," ujar Supriyadi saat dihubungi Kompas.com, Rabu (14/9/2016).
Supriyadi berpendapat, yang terpenting dilakukan saat ini dalam upaya penanganan kasus korupsi adalah dengan memiskinkan koruptor.
Hal tersebut bisa dilakukan dengan memaksimalkan penerapan ancaman pidana denda dan uang pengganti beserta perampasan aset yang telah dikorupsi.
Dia menilai cara tersebut lebih memberi efek jera ketimbang menerapkan biaya sosial yang jumlahnya berada di luar kemampuan terpidana.
"Menurut saya yang penting direformasi adalah soal pidana uang pengganti plus perampasan aset korupsinya. Hal ini saja kita masih berat," ungkapnya.
Hal senada juga diutarakan peneliti hukum ICJR Erasmus Napitupulu.
Menurutnya gagasan untuk membebani koruptor dengan biaya sosial bisa menjadi tidak efektif apabila ancaman biaya yang dijatuhkan di atas kemampuan terpidana.
Ancaman pidana yang tinggi, kata Erasmus, tidak menimbulkan efek jera terhadap koruptor, oleh sebab itu ketentuan pemidanaan harus proporsional dengan tujuan pemidanaan yang jelas.
Dia memandang pengambilan seluruh aset hasil korupsi lebih mampu menimbulkan efek jera ketimbang harus membebankan biaya sosial atau denda di luar kemampuan terpidana.
"Itu yang perlu dipertajam. Saya tidak percaya kalau pidana akan membuat jera koruptor. Kalau mau, fokus pada pengembalian dan pengambilan aset, ya tinggal dibuatkan saja aturannya," ungkapnya.
Sebelumnya, dikutip Harian Kompas, Komisi Pemberantasan Korupsi mendorong agar koruptor juga dikenai beban membayar biaya sosial.
Selain menumbuhkan efek jera dan gentar, gagasan penerapan hukuman biaya sosial korupsi ini juga diharapkan dapat memulihkan kerugian keuangan negara ataupun perekonomian akibat korupsi.
Gagasan itu menjadi antitesis dari hukuman rata-rata koruptor yang makin ringan, yaitu dari 2 tahun 11 bulan pada tahun 2013 menjadi 2 tahun 1 bulan pada tahun 2016.
(Baca: Bebani Koruptor dengan Biaya Sosial)
Pada saat yang sama, sikap permisif terhadap bekas terpidana kasus korupsi juga makin kuat.
Kondisi ini ditengarai menjadi penyebab korupsi masih banyak terjadi di Indonesia. Perhitungan biaya sosial korupsi yang dikaji KPK terdiri dari biaya eksplisit dan biaya implisit.
Biaya eksplisit adalah biaya yang dikeluarkan negara untuk mencegah dan menangani tindak pidana korupsi.
Biaya itu antara lain meliputi biaya penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pengadilan, hingga pemasyarakatan.
Adapun biaya implisit adalah biaya dari dampak yang timbul karena korupsi.
Dengan penghitungan biaya sosial korupsi, terdakwa korupsi dapat dituntut lebih tinggi daripada perhitungan kerugian negara yang selama ini dilakukan.
Dalam kajian KPK, peningkatan itu besarnya 4 kali hingga 543 kali lipat dibandingkan hukuman finansial yang diberikan pengadilan kepada para terpidana.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.