Dalam perspektif politik lokal, DKI Jakarta hanya merupakan satu dari 34 provinsi di Indonesia, tetapi dalam urusan pilkada pemberitaan media sangat gencar.
Semakin mendekati batas akhir pendaftaran (21 September 2016), perhatian masyarakat semakin tersedot, terlebih akhir-akhir ini disuguhi kisah politik cinta segitiga yang melibatkan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Megawati, dan vokalis Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
Narasi cinta platonik, Amor Platonicus, sebatas merawat relasi afektif dan saling rasa merasakan kenyamanan berkomunikasi, memberikan semangat, tidak menjurus lebih jauh dari persahabatan.
Namun, kerumitannya mencapai tingkat kekusutan yang jika tak segera diurai, tidak hanya merugikan mereka yang terlibat, tetapi bahkan merugikan rakyat.
Pertalian politik cinta segitiga jika diurai secara individual adalah sebagai berikut.
Pertama, relasi afektif antara Megawati dan Ahok adalah hubungan antara ibu dan putranya.
Ia tahu anaknya bengal dan adatnya keras, tetapi jujur dan mampu bekerja keras, sopan, hormat, dan takzim kepadanya.
Selain itu, intuisi politik Megawati yang tajam, melalui bahasa tubuh serta ekspresi verbalnya, meskipun sangat irit, memberikan isyarat dia ingin mencalonkan Ahok-Djarot Saiful Hidayat dalam Pilkada 2017.
Gerak sentrifugal kian eksplisit karena Ahok, yang semula ingin maju lewat mekanisme perseorangan, akhirnya memutuskan melalui jalur partai politik.
Pilihan Megawati bukan karena elektabilitas Ahok, melainkan karena tingkat kepuasan publik tinggi terhadap kinerjanya.
Beberapa hasil survei, Charta Politika, Maret 2106; Populi Centre; dan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Juni 2016; tingkat kepuasan politik di atas 70 persen. Tingkat elektabilitas Ahok top of mind mendekati 40 persen, jauh melampaui tingkat elektabilitas kandidat lain.
Kedua, pertalian antara kader PDI-P dan Megawati bersifat struktural dan hierarkis. Namun, karena Megawati adalah tokoh karismatik, relasi keduanya melampaui batas formal organisatoris, terutama karena naluri keibuan Megawati sangat kuat.
Relasi itu bagai pisau bermata dua, dapat menjalin hubungan erat antara kader dan pimpinan tertinggi partai sehingga mereka amat loyal, tetapi dapat pula menjurus pada kultus individu.
Gejala kedua semakin disadari sehingga mulai dirasakan upaya melakukan transformasi kepemimpinan yang karismatik menjadi demokratis.
Ketiga, relasi Ahok dengan vokalis PDI-P dapat ditelusuri dari perseteruannya mengenai masalah penyusunan APBD DKI Jakarta 2016, Rumah Sakit Sumber Waras, retribusi pengusaha dalam pembangunan reklamasi, dan sebagainya.
Dalam berbagai kasus itu, keterlibatan beberapa oknum DPRD DKI Jakarta sangat menonjol. Akibatnya, persepsi publik terhadap kredibilitas lembaga wakil rakyat itu makin kedodoran.
Hubungan rumit
Hubungan makin rumit karena Ahok dan PDI-P bersaing merebut kasih sayang Megawati. Ahok merebut simpati Megawati dengan menunjukkan kerja keras mewujudkan kesejahteraan warga.
Sementara kader PDI-P memikat Megawati dengan alasan menjaga marwah, kehormatan, dan martabat partai yang telah dilecehkan Ahok karena maju lewat jalur perseorangan.
Padahal, sejak Pilkada 2102, Ahok dan Joko Widodo didukung PDI-P, masing-masing sebagai calon wakil gubernur dan gubernur.
Akhir-akhir ini kritik para vokalis PDI-P terhadap Ahok dapat melampaui batas kewajaran. Alih-alih memikat Megawati, mereka justru bisa dianggap membangkang atau merongrong wibawa ketua umum.
Sebab, Megawati beberapa kali mengingatkan kadernya agar tidak meributkan pencalonan Ahok dan Djarot. Namun, imbauan itu ternyata tidak mempan, bahkan dirasakan semakin meninggi intensitasnya.
Pernyataan yang kelewatan justru dapat merugikan mereka karena ujaran itu mengekspresikan rasa frustrasi, iri, dengki, serta rasa tak berdaya (ressentiment syndrom).
Dalam perspektif Chantal Mouffe sebagaimana dikutip Mark Wenman, Agonistic Democracy: Constituent Power in The Era of Globalisation (2013), perilaku itu terjebak dalam spirit antagonisme, kompetitor politik dianggap musuh (mutually hostile destructive), bukan semangat agonisme yang menganggap kompetitor sekadar lawan politik (constructive forms of rivalry).
Dalam politik yang bertujuan mulia, lawan politik selalu berpotensi menjadi kawan seperjuangan mewujudkan cita-cita.
Sebenarnya, pertikaian antara Ahok dan para vokalis PDI-P mudah diselesaikan, mengingat alasan utama PDI-P mendukung Ahok adalah ideologi, pencalonannya sebagai proyek percontohan kebangsaan.
Kalau Ahok berhasil jadi Gubernur DKI Jakarta, ikatan primordial apa pun, bukan hambatan seseorang, siapa pun, menjadi pemimpin Ibu Kota asal membuktikan prestasinya kepada publik.
Alasan yang menganggap Ahok arogan, kasar, dan sebagainya terlalu sumir meruntuhkan cita-cita yang amat mulia.
Mencermati kisah itu, kepastian pencalonan pasangan kandidat PDI-P masih misteri, sampai batas akhir pendaftaran pilkada. Nasib rakyat menjadi taruhan perjudian politik.
Semoga romantika politik percintaan segitiga menghasilkan pilihan yang membahagiakan masyarakat DKI Jakarta, bukan memorakporandakan mimpi rakyat yang mendambakan hidup bahagia.
J Kristiadi, Peneliti Senior CSIS
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.