JAKARTA, KOMPAS.com - Tahun 2014, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar bertemu terpidana mati kasus narkotika Freddy Budiman.
Menurut Haris, pertemuan itu tak disengaja. Melalui Suster Yani, Freddy meminta bertemu dengan Haris. Pertemuan berlangsung di Lapas Nusakambangan.
Haris mengungkapkan, selama dua jam pertemuan, Freddy bercerita panjang lebar soal bisnis narkoba yang dijalankannya.
Freddy mengungkap adanya oknum Polri, TNI, dan Badan Narkotika Nasional yang turut "bermain" dalam bisnisnya.
Cerita yang disampaikan Freddy ini tak langsung disebarluaskan Haris. Ia menyimpan kisah ini dan menunggu momentum yang tepat, yaitu menjelang eksekusi mati.
Beberapa hari menjelang hari eksekusi, Haris mengaku menyampaikan cerita ini kepada Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Johan Budi Sapto Pribowo.
(Baca: Presiden Sudah Tahu Berita Curhatan Freddy Budiman kepada Haris Azhar)
Mengandalkan ingatan, Haris menuliskan kembali percakapannya dengan Freddy. Ia berharap, Johan bisa menyampaikan cerita ini kepada Presiden Joko Widodo.
Akan tetapi, hingga menjelang eksekusi, tak ada respons dari Istana.
Haris memutuskan menyebarluaskan Freddy melalui pesan berantai.
(Baca: Haris Mengaku Sampaikan Cerita Freddy kepada Johan Budi sebelum Sebarkan via Whatsapp)
Dijerat UU ITE
Haris tak menyangka keputusannya menyebarluaskan pesan itu membuatnya dilaporkan oleh tiga institusi atas tuduhan pencemaran nama baik.
Tiga institusi yang melaporkan Haris adalah TNI, Kepolisian RI, dan Badan Narkotika Nasional (BNN).
Laporan tersebut masuk pada Rabu (3/8/2016). Ia disangkakan melanggar Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
(Baca: Polisi, BNN, dan TNI Laporkan Haris Azhar ke Bareskrim Terkait Cerita Freddy Budiman)
Haris menyesalkan pelaporan itu.
Menurut dia, banyak petunjuk dari cerita Freddy untuk mengungkap nama oknum yang terlibat dalam jaringan bisnis narkotika.
"Jadi, cerita itu sebenarnya sudah menjadi konsumsi internal di Lapas Nusakambangan. Kalau mau didalami lebih jauh oleh BNN, Kepolisian dan TNI pasti nama-nama oknum mereka yang terlibat bisa diungkap," ujar Haris.
Haris mengatakan, nama oknum TNI, Polri, dan BNN yang terlibat bisnis haram itu sebenarnya bisa dilacak melalui buku registrasi dan Closed Circuit Television (CCTV) yang terpasang di seluruh penjuru Lapas Nusakambangan.
Haris mendudukkan cerita Freddy itu sebagai petunjuk, bukan bukti.
Ia berharap, dari cerita itu, penegak hukum menelusurinya untuk menemukan bukti baru.
Menurut Haris, Freddy bercerita bahwa ia hanya sebagai operator penyelundupan narkoba skala besar.
(Baca: Dilaporkan Polisi, TNI, dan BNN ke Polisi, Ini Tanggapan Haris Azhar)
Saat hendak mengimpor narkoba, Freddy menghubungi berbagai pihak untuk mengatur kedatangan narkoba dari China.
Oknum aparat disebut meminta keuntungan kepada Freddy dari Rp 10.000 hingga Rp 30.000 per butir.
Cerita Freddy diragukan
Polri menganggap pesan berantai yang disebar Haris merugikan institusi.
Polisi menganggap apa yang diungkapkan Freddy hanya untuk lolos dari jerat hukuman mati.
Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian menilai, informasi yang diungkapkan Haris tidak bisa dibuktikan kebenarannya.
Selain itu, kata Tito, informasi tersebut tidak didukung dari sumber lain yang bisa mengonfirmasi keterangan Freddy.
"Seharusnya Haris melakukan kroscek ke sumber lain yang bisa mendukung pernyataan Freddy sebelum menyampaikannya ke publik. Kalau benar-benar didukung sumber informasi yang lain, baru oke," ujar Tito.
(Baca: Budi Waseso: Haris Azhar Harus Bertanggung Jawab)
Tito menjelaskan, dari sudut pandang kepolisian, sebuah keterangan bisa dipercaya apabila berasal dari sumber yang bisa dipercaya dan mendapat dukungan dari sumber-sumber lain.
Sumber tersebut, kata dia, harus dikenal sebagai orang yang selalu konsisten, benar, dapat dipercaya, dan belum pernah salah dalam memberikan keterangan.
Oleh karena itu, Tito menilai informasi yang disampaikan Freddy kepada Harris sangat diragukan kebenarannya.
Menurut dia, Freddy sebagai sumber informasi yang belum tentu kredibel. Informasi Freddy yang disampaikan kepada Haris, kata Tito, masuk dalam kategori F6.
Artinya, sumber diragukan dan belum ada konfirmasi pendukung yang berasal dari sumber lain.
Sementara itu, TNI melaporkan Haris karena mempertimbangkan dua hal.
Pertama, ingin mendapatkan kepastian hukum terkait kesaksian yang dibeberkan Haris melalui penyelidikan dan penyidikan.
Dari keterangan yang disampaikan Haris, untuk mengamankan upaya penyelundupan tersebut, narkoba dibawa dengan menggunakan kendaraan TNI yang dimiliki jenderal bintang dua.
Kedua, TNI ingin memberikan pelajaran dan pendidikan kepada masyarakat agar memahami hukum dan berhati-hati menyebarkan informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Kepala Humas Badan Narkotika Nasional (BNN) Kombes Slamet Pribadi mengatakan, pernyataan Haris yang dinilai bermuatan tindak pidana itu sangat merugikan kredibilitas sejumlah institusi negara, BNN salah satunya.
Laporan tersebut merupakan laporan atas nama institusi BNN, bukan orang per orang.
Slamet juga memastikan, laporan tersebut telah dikoordinasikan dan disetujui Kepala BNN Komjen (Pol) Budi Waseso.