Aung San Suu Kyi tak kuasa menyembunyikan sentimen rasismenya tatkala mengetahui dirinya diwawancara seorang jurnalis perempuan Muslim.
Ketegangan rasial pun menghantui AS menyusul penembakan terhadap beberapa remaja kulit hitam oleh kepolisian di Minnesota, Louisiana, dan Dallas.
Segregasi atas dasar warna kulit dan status ekonomi di sektor pendidikan kian menganga di ”Negeri Paman Sam” ini.
Kanker kebencian pada pendatang juga merasuki Eropa menyusul membanjirnya pengungsi dari wilayah konflik di Timur Tengah.
Referendum warga Inggris yang pada akhirnya memilih keluar dari Uni Eropa dipicu penolakan atas imigran.
Tak mengejutkan jika laporan Indeks Kebebasan Pers Dunia 2016 mencatat adanya penurunan tingkat kebebasan berekspresi di negara-negara Eropa dibandingkan tahun 2013. Pembatasan kebebasan berekspresi di Denmark, Inggris, Jerman, dan Polandia mengalami peningkatan.
Finlandia, Belanda, Norwegia, Denmark, dan Selandia Baru adalah lima negara di urutan teratas indeks. Indonesia di urutan ke-130 dari 180 negara, di atas Thailand, Filipina, Malaysia, Burma, Singapura, Brunei, dan Laos. Di antara indikator yang ditelisik adalah independensi media, sensor, dan penegakan hukum.
Kredibilitas pemerintah
Secara terbuka, Presiden Filipina Rodrigo Duterte menyebut invasi AS dan sekutunya ke Irak sebagai penyebab konflik berdarah di Timur Tengah dan memicu serangan terorisme di banyak negara.
”Bukan Timur Tengah yang mengekspor terorisme ke AS, melainkan AS yang mengimpor terorisme,” ucapnya di depan komunitas Muslim di Davao (Kompas, 9/7).
Skandal kebijakan menginvasi Irak inilah yang kini menghantam Tony Blair menyusul dibukanya laporan panjang Sir John Chilcot.
Dokumen ini menemukan bahwa alasan kebijakan Blair menyeret Inggris dalam proyek George W Bush itu jauh dari memuaskan. Keberadaan senjata pemusnah massal tidak terbukti. Keputusan perang adalah ilegal.
Perang Irak telah mewariskan kebencian sektarian, kelahiran Al Qaeda, dan belakangan NIIS. AS sendiri sudah diingatkan sebelum invasi, kejatuhan Saddam Hussein akan membuka kotak pandora konflik sektarian Sunni dan Syiah di Timur Tengah (Guardian, 7/7).
Dukungan AS dan Inggris terhadap kelompok takfirisme kala itu telah melapangkan jalan ledakan terorisme seperti kita rasakan hari ini.
”Menyalahkan sepenuhnya Arab Saudi dan Wahabisme dalam kekusutan konflik mengalihkan akar masalah,” ungkap analis Uni Emirat Arab Abdelkhaleq Abdalla.