Tak kurangi kejahatan
Beberapa pihak tetap menyerukan pemberlakuan moratorium eksekusi mati. Indonesia didesak untuk sedini mungkin menerapkan hal itu. Salah satu alasannya, antara lain, eksekusi yang dilakukan terhadap 14 terpidana mati pada 2015 lalu terbukti tidak mengurangi kejahatan narkoba di Indonesia.
"Pelaksanaan hukuman mati tanpa menunggu (selesainya) revisi undang-undang yang mengatur pidana mati sama sekali tidak bisa dibenarkan," kata Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Franz Magnis-Suseno akhir pekan lalu.
Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah saat ini sedang membahas Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
(Baca: Eksekusi Mati Dianggap Cara Pembalasan yang Tak Timbulkan Efek Jera)
Dalam rancangan KUHP, usulan pemerintah sudah disetujui DPR, hukuman mati disebutkan sebagai pidana pokok yang bersifat khusus dan alternatif. Disebutkan juga bahwa hukuman mati merupakan pidana yang diterapkan sebagai upaya paling akhir.
Rancangan KUHP juga mengatur penundaan pelaksanaan eksekusi hingga 10 tahun.
Hukuman itu pun bisa diubah menjadi seumur hidup atau 20 tahun penjara jika tidak ada jika reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar atau terpidana menyesal dan bisa memperbaiki diri atau perannya tidak terlalu penting dalam kejahatan serta ada alasan meringankan.
Terkait hal itu, Rum mengatakan, pihaknya menerima dan menghargai seluruh masukan masyarakat. Namun, Kejagung hanyalah pelaksana undang-undang. Kejagung akan tetap melihat seluruh proses hukum yang ada. (HEI/OSA)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Juli 2016, di halaman 4 dengan judul "MA Prioritaskan PK Freddy".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.