Pada tahun 2000, pengembangan usaha madu hutan kembali dibangun seiring penanaman kembali kawasan bekas kebakaran hutan dengan tanaman pakan lebah madu. Para petani madu mulai mengorganisasikan dirinya ke dalam kelompok.
Mereka membuat aturan dan kesepakatan bersama mengenai mekanisme pengelolaan kawasan dan mekanisme panen agar mereka tetap bisa memanen madu hutan setiap tahun.
Para Periau diberdayakan dalam wadah Asosiasi Periau Danau Sentarum (APDS) yang dibentuk sejak 20 Juli 2006. APDS merupakan organisasi berbentuk koperasi yang menaungi 15 kelompok periau dari seluruh kampung di dalam kawasan Danau Sentarum.
Asosiasi itu dibentuk atas inisiasi dari WWF Indonesia, organisasi Riak Bumi, Aliansi Organis Indonesia, Yayasan Dian Tama dan People, Resources, and Conservation Foundation Indonesia (PRCFI).
Panen lestari
"Awalnya APDS hanya terdiri dari 5 kelompok periau. Satu kelompok rata-rata terdiri dari 10-40 petani. Sekarang jumlah kelompok sudah bertambah menjadi 15 kelompok, anggota asosiasi sekitar 305 orang," ujar Basriwadi.
Setelah mengenalkan APDS secara singkat kepada Kompas.com, Basriwadi kemudian mengajak melihat Rumah Workshop Pengelolaan Madu Hutan milik APDS. Letaknya tidak jauh dari pinggir Sungai Leboyan.
Di Rumah Workshop itu, Basriwadi menjelaskan secara detail mengenai teknik panen lestari madu hutan yang sudah dipakai oleh Periau sejak 2006.
Sejak mengenal teknik panen lestari, kata Basriwadi, madu hutan yang dihasilkan oleh Periau menjadi lebih berkualitas dan berhasil mengurangi mortalitas lebah pada saat panen.
Pertama kali teknik panen lestari dipelajari oleh tiga orang warga Danau Sentarum, yaitu Thamrin asal Desa Tekenang, Hariyanto dari Desa Nanga Leboyan dan Ade Jumhur warga Desa Semalah.
Pada 1996 mereka mendapat bantuan dari sebuah LSM internasional untuk belajar teknik panen lestari di Vietnam.
Sejak saat itu, teknik tersebut mulai tersebar luar di kalangan Periau. Kemudian pada 2006, APDS mengadopsi teknik panen lestari sebagai ketentuan standar.
Selain memanen dari sarang alami, para Periau juga membuat sarang buatan yang disebut tikung. Tikung merupakan dahan buatan yang dipasang di atas pohon. Lebarnya kira 20 cm dan panjangnya 150 cm.
Tikung dipasang di atas pohon dengan ketinggian 5-10 meter saat musim lebah pada September hingga Maret. Setiap anggota APDS rata-rata memiliki 25 tikung hingga 1000 tikung.
"Biasanya tidak semua tikung dihinggapi oleh lebah untuk membuat sarang. Rata-rata hanya 10 persennya. Jadi, misalnya seseorang memasang 1000 tikung, maka hanya 100 tikung yang menjadi sarang lebah. Itu juga tergantung dari keuletan dalam pemeliharaan. Ketika tikung sudah terpasang, harus diolesi dengan madu," jelas Basriwadi.