Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Koruptor Adili Koruptor

Kompas.com - 01/06/2016, 05:45 WIB

Oleh: IMAM ANSHORI SALEH

Dunia peradilan kita sedang terluka parah. Dua kasus suap yang terkait penanganan perkara di Mahkamah Agung belum selesai diusut, pada Senin (23/5) lalu dua hakim tindak pidana korupsi ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi di Pengadilan Negeri Kepahiang, Bengkulu, kota kecil yang sunyi.

Terlepas apakah dua kasus suap dengan tersangka Andri Tristianto Saputra, pegawai di Mahkamah Agung, dan Edy Nasution, panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, melibatkan hakim atau tidak, aroma suap membuat peradilan kita semakin terpuruk.

Kasus tertangkapnya dua hakim tindak pidana korupsi di Kepahiang semakin meyakinkan bahwa suap-menyuap di pengadilan sudah menjadi kenyataan yang memalukan sekaligus memilukan.

Lagi-lagi kita menyebut dua kasus di Jakarta dan satu kasus di Kepahiang itu sebagai ”gunung es” yang apabila mau serius dikeruk lebih dalam, puluhan bahkan ratusan ”bongkahan es” kasus serupa akan mudah ditemukan.

Sebelumnya, di Medan, Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara juga terjaring operasi tangkap tangan KPK. Mahkamah Agung tergagap-gagap dan kehilangan kata-kata untuk menjelaskan mengapa terus terjadi penyuapan terhadap para ”pemegang otoritas” keadilan itu.

Bagaimana dengan pengawasan dari Badan Pengawas Mahkamah Agung dan bagaimana pengawasan ketua Pengadilan Tinggi terhadap hakim-hakim dan aparat pengadilan jajarannya.

Eksternal dan internal

Sejumlah faktor menjadi penyebab maraknya praktik suap di pengadilan. Tidak perlu jauh-jauh mencari kambing hitam dari faktor eksternal.

Ada beberapa faktor internal yang diduga kuat menjadi penyebab suburnya penyuapan kepada aparat pengadilan.

Pertama, tentu rendahnya integritas para hakim. Kedua, karena serba tertutupnya pengadilan dalam membuka akses informasi yang diperlukanmasyarakat.

Ketiga, dalam membuat putusan, para hakim nyaris tanpa pertanggungjawaban kepada institusi horizontal maupun vertikal. Para hakim begitu mudah ”berlindung” di balik kebebasan hakim.

Siapa pun dan institusi mana pun tidak boleh mencampuri hakim dalam mengadili dan memutus perkara. Hal ini yang sering menjadikan ”bungker” bagi para hakim untuk memainkan perkara yang ditanganinya.

Menurut catatan Koalisi Pemantau Peradilan, dua hakim tindak pidana korupsi (tipikor), Janner Purba dan Toton, adalah hakim tipikor keenam dan ketujuh yang ditangkap KPK (Kompas.com, 24/5/2016).

Hakim tindak pidana korupsi yang pertama terjerat kasus korupsi adalah Kartini Julianna Mandalena Marpaung. Hakim pada Pengadilan Tipikor Semarang itu ditangkap oleh KPK pada 17 Agustus 2012.

Kartini ditangkap bersama Heru Subandono yang juga hakim di Pengadilan Tipikor Pontianak. Keduanya tertangkap tangan seusai melakukan transaksi suap di halaman Pengadilan Negeri Semarang.

KPK juga pernah menahan hakim Pengadilan Tipikor Semarang, Pragsono, yang ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap penanganan perkara korupsi di DPRD Grobogan, Jawa Tengah, pada Desember 2013.

KPK menetapkan Pragsono sebagai tersangka sekitar Juli 2013. Dia ditetapkan sebagai tersangka bersama dengan hakim ad hocTipikor Palu, Sulawesi Tengah, Asmadinata.

Berikutnya hakim ad hoc Pengadilan Tipikor Bandung, Ramlan Comel. Ramlan ditahan KPK sebagai tersangka kasus dugaan suap penanganan perkara korupsi bantuan sosial diKota Bandung.

Yang mulia menjadi tercela

Jika yang tertangkap tangan kebanyakan hakim tipikor yang bertugas mengadili para terdakwa koruptor, sungguh sangatlah ironis. Hakim yang korup sehari-hari menangani perkara korupsi. Jadi, hakim-hakim koruptor harus mengadili para koruptor.

Bagaimanapun hakim-hakim yang bermental koruptor itu akan kehilangan sensitivitas ketika menanganiperkara korupsi, sebab dalam benaknya seolah melakukan korupsi itu sebagai hal yangbiasa.

Mereka akan kehilangan penghayatan ketika menuliskan pertimbangan hukum. Hakim yang diharapkan memutus dengan obyektif dikhawatirkan akan lebih mengedepankan subyektivitasnya.

Berdasarkan data yang dikutip dari Pengadilan Negeri Bengkulu, Kamis (26/5/2016), Janner dan Toton kerap satu majelis mengadili perkara korupsi.

Dari ketokan palu keduanya, umumnya para terdakwa divonis ringan, bahkan sepuluh di antaranya divonis bebas.

Hakim menghukum ringan dan membebaskan terdakwa bukanlah hal yang dilarang. Yang tercela adalah jika hakim menghukum ringan dan membebaskan terdakwa karena hakimnya disuap.

Hakim menerima suap dan korupsi sangat bertentangan dengan tuntutan profesionalisme hakim. Profesi hakim adalah benteng terakhir dalam integrated justice system di negara mana pun.

Di dalam diri hakim dipersonifikasikan berbagai simbol kearifan. Kode etik hakim memuat janji hakim untuk menjalankan profesi luhur (officium nobile) ini.

Di Indonesia keluhuran martabat hakim mengacu pada simbol-simbol: kartika, ”cakra”, ”candra”, ”sari”, dan ”tirta”. Sifat ”kartika” (bintang) melambangkan ketakwaan hakim kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang beradab.

Sifat ”cakra” (senjata ampuh penegak keadilan) melambangkan sifat adil, baik di dalam maupun di luar kedinasan.

Dalam kedinasan, hakim bersikap adil, tidak berprasangka atau memihak, bersungguh-sungguh mencari kebenaran dan keadilan, memutuskan berdasarkan keyakinan hati nurani, dan sanggup mempertanggungjawabkan kepada Tuhan.

”Candra” (bulan) melambangkan kebijaksanaan dan kewibawaan. Dalam kedinasan, hakim harus memiliki kepribadian, bijaksana, berilmu, sabar, tegas, disiplin dan penuh pengabdian pada profesinya.

”Sari” (bunga yang harum) menggambarkan hakim yang berbudi luhur dan berperilaku tanpa cela. Dalam kedinasannya ia selalu tawakal, sopan, bermotivasi meningkatkan pengabdiannya, ingin maju, dan bertenggang rasa.

”Tirta” (air) melukiskan sifat hakim yang penuh kejujuran (bersih), berdiri di atas semua kepentingan, bebas dari pengaruh siapa pun, tanpa pamrih, dan tabah.

Dalam kontekstujuh hakim tipikor yang tertangkap tangan karena suap dan hakim-hakim lain yang berperilaku sama, mereka sudah kehilangan sifat-sifat yang seharusnya disandang seorang pengadil.

Kalau sifat-sifat itu sudah tidak melekat pada mereka, mereka telah kehilangan predikat ”yang mulia”. Tugas Mahkamah Agung dan segenap pemangku kepentingan adalah menyelamatkan ribuan hakim yang masih baik.

Sikap permisif yang selama ini dikesankan pimpinan MA akan melapangkan jalan bagi hakim-hakim yang terhormat menjadi tercela. Sebuah negara yang berkeadilan akan semakin sulit terwujud jika pilar-pilar keadilan, yakni para hakim kita, masih koruptif.

Imam Anshori Saleh, Pengamat Hukum dan Peradilan

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pemerintah Akan Bangun Sekolah Aman Bencana di Tiga Lokasi

Pemerintah Akan Bangun Sekolah Aman Bencana di Tiga Lokasi

Nasional
KPK Pertimbangkan Anggota DPR yang Diduga Terima THR dari Kementan jadi Saksi Sidang SYL

KPK Pertimbangkan Anggota DPR yang Diduga Terima THR dari Kementan jadi Saksi Sidang SYL

Nasional
PDI-P Sebut Prabowo-Gibran Bisa Tak Dilantik, Pimpinan MPR Angkat Bicara

PDI-P Sebut Prabowo-Gibran Bisa Tak Dilantik, Pimpinan MPR Angkat Bicara

Nasional
Cak Imin Sebut Pemerintahan Jokowi Sentralistik, Kepala Daerah PKB Harus Inovatif

Cak Imin Sebut Pemerintahan Jokowi Sentralistik, Kepala Daerah PKB Harus Inovatif

Nasional
Pemerintah Akan Pastikan Status Tanah Warga Terdampak Erupsi Gunung Ruang serta Longsor Tana Toraja dan Sumbar

Pemerintah Akan Pastikan Status Tanah Warga Terdampak Erupsi Gunung Ruang serta Longsor Tana Toraja dan Sumbar

Nasional
Ahmed Zaki Daftarkan Diri ke PKB untuk Pilkada DKI, Fokus Tingkatkan Popularitas

Ahmed Zaki Daftarkan Diri ke PKB untuk Pilkada DKI, Fokus Tingkatkan Popularitas

Nasional
Sengketa Pileg, Golkar Minta Pemungutan Suara Ulang di 36 TPS Sulbar

Sengketa Pileg, Golkar Minta Pemungutan Suara Ulang di 36 TPS Sulbar

Nasional
Mendagri Sebut Biaya Pilkada Capai Rp 27 Triliun untuk KPU dan Bawaslu Daerah

Mendagri Sebut Biaya Pilkada Capai Rp 27 Triliun untuk KPU dan Bawaslu Daerah

Nasional
Airin Ingin Bentuk Koalisi Besar untuk Mengusungnya di Pilkada Banten

Airin Ingin Bentuk Koalisi Besar untuk Mengusungnya di Pilkada Banten

Nasional
Sebut Warga Ingin Anies Balik ke Jakarta, Nasdem: Kinerjanya Terasa

Sebut Warga Ingin Anies Balik ke Jakarta, Nasdem: Kinerjanya Terasa

Nasional
Caleg PSI Gugat Teman Satu Partai ke MK, Saldi Isra: Berdamai Saja Lah

Caleg PSI Gugat Teman Satu Partai ke MK, Saldi Isra: Berdamai Saja Lah

Nasional
Irigasi Rentang Targetkan Peningkatan Indeks Pertanaman hingga 280 Persen

Irigasi Rentang Targetkan Peningkatan Indeks Pertanaman hingga 280 Persen

Nasional
Kuasa Hukum Caleg Jawab 'Siap' Terus, Hakim MK: Kayak Latihan Tentara, Santai Saja...

Kuasa Hukum Caleg Jawab "Siap" Terus, Hakim MK: Kayak Latihan Tentara, Santai Saja...

Nasional
Heboh Brigadir RAT Jadi Pengawal Bos Tambang, Anggota DPR: Tak Mungkin Atasan Tidak Tahu, Kecuali...

Heboh Brigadir RAT Jadi Pengawal Bos Tambang, Anggota DPR: Tak Mungkin Atasan Tidak Tahu, Kecuali...

Nasional
Geledah Setjen DPR dan Rumah Tersangka, KPK Amankan Dokumen Proyek hingga Data Transfer

Geledah Setjen DPR dan Rumah Tersangka, KPK Amankan Dokumen Proyek hingga Data Transfer

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com