Hukum positif
Tap MPRS No XXV/MPRS/1966 tersebut tetap dinyatakan berlaku atas dasar Tap MPRS No V/MPRS/1973 dan Tap MPR No 1/MPR/1973, dengan catatan bahwa ke depan harus diberlakukan dengan berkeadilan, serta dengan menghormati hukum, prinsip demokrasi dan HAM.
Kemajuan terjadi di era Reformasi pada saat pemerintahan BJ Habibie, dengan diterbitkannya UU No 26 Tahun 1999 yang mencabut berlakunya UU No 11/PNPS Tahun 1963, yang disusul dengan terbitnya UU No 27 Tahun 1999.
Dengan UU No 27 Tahun 1999, kriminalisasi (larangan) terhadap perbuatan penyebaran dan pengembangan paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leniisme tetap dipertahankan, dengan perbaikan perumusan dan ditempatkan sebagai bagian dari Kejahatan terhadap Keamanan Negara, melalui penambahan Pasal 107a sampai dengan Pasal 107f dalam KUHP.
Hal ini mengandung pernyataan bahwa larangan tersebut tetap merupakan tindak pidana menurut hukum positif atas dasar Tap MPRS No XXV/MPRS/1966 yang harus ditegakkan.
Tampaknya kriminalisasi tetap dilakukan dengan mempertimbangkan aspek empiris partikularistik, antara lain demi melindungi keamanan negara dan ideologi negara, adanya bahaya potensial terhadap kehidupan masyarakat, adanya dukungan masyarakat, unsur ketepatan dan ketelitian, bersifat sistemik, sarana lain tidak memadai (ultima ratio legis) dan bersifat proporsional.
Dalam RUU KUHP yang saat ini sedang dibahas di DPR, di samping larangan tersebut dirumuskan adanya alasan pembenar, dengan menegaskan bahwa tidak dipidana orang yang melakukan kajian terhadap ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dengan maksud dan tujuan semata-mata untuk kegiatan ilmiah.
Dalam RUU KUHP tindak pidana penyebaran dan pengembangan paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dirumuskan sebagai Tindak Pidana terhadap Ideologi Negara yang merupakan bagian dari Tindak Pidana terhadap Keamanan Negara.