Buat kalangan lainnya, sikap Golkar sudah mengarah pada ”oportunisme politik” yang lebih absurd.
Di sini berlaku filosofi ”yang penting mengambil kesempatan untuk mencapai tujuan, tanpa mempertimbangkan sebab-sebab atau akibat-akibatnya”.
Suka atau tidak, pragmatisme dan oportunisme makin hari makin tampak dalam praktik politik kepartaian kita. Politik kita, seperti kata Harold Lasswell, semata-mata hanya soal ”siapa dapat apa, kapan, dan bagaimana”.
Mungkin PDI-P dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang antara lain dapat dikategorikan sebagai partai yang agak memperhitungkan prinsip-prinsip ideologis (masing-masing sukarnoisme dan Islam) dewasa ini.
Namun, kalau soal masuk kabinet untuk mendapat jatah menteri, semua partai berebut atas nama pragmatisme dan oportunisme.
Seorang tokoh Golkar, Rully Chairul Azwar, dalam buku Politik Komunikasi Partai Golkar di Tiga Era, dari Partai Hegemonik ke Partai Berorientasi Pasar (2009) menempatkan partainya sebagai kekuatan politik yang pandai berselancar mengarungi ombak politik.
Golkar berhasil merebut suara terbanyak pada pemilu-pemilu ”abu-abu” ala Orde Baru, bahkan sempat menjadi juara pada Pilpres 2004.
Hegemoni itu tak hanya dominan pada masa Orde Baru, sampai kini pengaruh politik Golkar terasa kental di berbagai bidang kehidupan negara/masyarakat.
Contohnya ikonisasi Presiden Soeharto yang oleh Golkar akan dicalonkan kembali menjadi Pahlawan Nasional, manuver yang dianggap brilian oleh sisa-sisa Orde Baru.
Golkar satu-satunya partai yang mampu bertahan dalam waktu paling lama dalam sejarah kepartaian karena tiga faktor. Faktor pertama adalah kepemimpinan yang relatif stabil dan berkesinambungan dalam menjaga kelangsungan status quo menghadapi berbagai tantangan dan perubahan yang menghadang.
Kepemimpinan Suprapto Sukowati, Amir Murtono, Sudharmono, Wahono, dan Harmoko dalam periode 1969-1998 berkarakteristik hegemonik berkat dukungan rezim BA (bureaucratic authoritarian) Orde Baru.
Stabilitas dan kesinambungan tetap terjaga pula pada masa kepemimpinan Akbar Tandjung (1998-2004) sebagai solidarity maker yang dibuktikan lewat sukses memenangi Pemilu 1999 dan 2004.
Dan, kepemimpinan Jusuf Kalla sejak Rapimnas Bali 2004 sampai kini memperlihatkan kembali kelenturan Golkar. Suka atau tidak, Aburizal Bakrie berhasil mengantar Golkar menjadi pemenang kedua Pileg 2014.
Faktor kedua, konflik dan konsensus internal terkelola relatif mulus. Jangan lupa, perpecahan internal yang berujung pada Munaslub Bali 2016 terjadi juga karena ikut campur invisible hands dari kalangan pemerintah.
Faktor ketiga, Golkar memiliki massa loyal yang berciri modern alias nontradisional.
Sekali lagi, selamat untuk Setya Novanto. Semoga seluruh jajaran Golkar, termasuk mereka yang pulang dengan tangan hampa dari Munaslub Bali 2016, tetap ”setya” kepada Ketua Umum Golkar yang baru.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.