Terjadinya kecelakaan, tabrakan pesawat terbang antara Batik Air dengan Trans Nusa di Halim Perdanakusuma, Senin 4 April 2016 yang membuktikan bahwa penerbangan komersial di Halim sangat berpotensi untuk terjadinya kecelakaan pesawat terbang yang fatal.
Apa sebenarnya penyebab terjadinya tabrakan pesawat tersebut, tidak akan pernah diketahui dengan pasti sampai nanti Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) selesai melakukan proses investigasi.
Apabila kita melihat sekilas pada kejadian tabrakan pesawat di Halim itu, dengan mudah dapat disajikan analisis teknis mengapa kejadian seperti itu bisa terjadi. Ada banyak sekali kemungkinan yang menjadi penyebabnya, satu di antaranya adalah kelalaian pilot.
Sekali lagi ini hanyalah analisis teknis tentang mengapa kejadian tabrakan pesawat seperti yang terjadi di Halim dapat terjadi. Tidak bermaksud melangkahi KNKT yang tengah melakukan investigasi akan tetapi sekedar sebagai pengetahuan umum saja, bahwa memang kecelekaan sejenis itu bisa terjadi.
Seorang pilot yang dibantu kopilot, dalam melakukan take off seharusnya melihat terlebih dahulu kedepan arah runway yang akan dilaluinya sebelum memutuskan untuk take off. Bila pilot dan kopilot tidak melihat ke luar arah runway yang akan dilaluinya untuk take off, maka wajar sekali tabrakan akan terjadi, yaitu bila ada pesawat terbang yang tengah melintas runway menyeberang kearah yang berlawanan.
Adalah tidak mungkin pilot tidak melihat ke luar ke arah runway sebelum take off, kecuali sang pilot mungkin dalam keadaan terburu-buru (mengejar setoran, karena esok harinya dan tangal 9 April Halim ditutup untuk pnerbangan komersial dalam rangka HUT AURI) atau memang sudah tahu akan banyak pesawat lain yang antre untuk take off dan atau landing setelah pesawat dia, dan kemudian percaya saja dengan “clearance” dari Petugas ATC (Air Traffic Control), atau ijin take off dari menara pengawas.
Atau bila sang pilot memang sudah “fatique”, kelelahan yang bukan fisik sebagai akibat sudah terbang melampaui jumlah jam terbang yang ditentukan. Kemungkinan lainnya adalah kualifikasi pilot sebagai kapten adalah produk "karbitan” karena memang saat ini Indonesia berada dalam kondisi kekurangan tenaga pilot.
Manajemen kejar setoran
Terburu-buru di Halim, sangat normal terjadi dan ada beberapa faktor yang mendukung, yaitu, antara lain air traffic di Halim memang sudah cukup padat. Beberapa waktu lalu untuk landing saja dibutuhkan waktu hingga 40 menit berputar-putar di atas Halim. Jadi wajar sekali orang akan take off terburu-buru.
Selain itu, sekali lagi pada keesokan harinya Halim akan digunakan untuk penerbangan latihan pesawat tempur Angkatan Udara dalam rangka peringatan 9 April 2016 , Hari Angkatan Udara.
Wajar juga, untuk "kejar setoran" maka malam-malam pun dilakukan penerbangan agar tidak merugi, karena besok pagi tidak bisa terbang karena dipakai latihan Angkatan Udara.
Di samping itu pesawat Trans Nusa terkesan pula terburu-buru dipindahkan malam itu juga dengan alasan entah mengapa tetapi bisa saja antara lain karena memang apron (tempat parkir pesawat) yang sempit sehingga pesawat harus segera dipindahkan ke tempat lain yaitu di seberang landasan.
Pilot “fatique”, banyak sekali kemungkinannya yang antara lain adalah jam terbang sang pilot sudah melebihi batas yang diperbolehkan. Bisa dengan mudah di cek log book pilot dalam hal ini apakah dia memang sudah melewati batasan yang ditentukan atau tidak. Atau di hari itu mereka sudah kelelahan dan ingin segera menyelesaikan misi penerbangannya di malam hari itu.
Di samping kita memang sedang berada dalam kondisi kekurangan pilot, rekam jejak Batik Air yang berada dalam satu naungan manajemen dengan Lion Air diketahui beberapa waktu lalu pilotnya ada yang terlibat kasus Narkoba. Dapat dengan mudah di cek, apakah benar atau tidak dengan cek laboratorium.