JAKARTA, KOMPAS.com - Hingga hari ini, sudah 17 hari kelompok Abu Sayyaf menyandera 10 warga negara Indonesia. Sepuluh WNI itu merupakan awak kapal tunda Brahma 12 yang dibajak oleh kelompok teror asal Filipina.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan, koordinasi dan komunikasi terus dilakukan dengan Pemerintah Filipina.
"Kontak terakhir saya lakukan (Senin) pagi tadi dengan Menlu Filipina," kata Retno dalam jumpa pers di Kantor Kementerian Luar Negeri, Jakarta Pusat, Senin (11/4/2016).
"Saya mohon doa terus-menerus dari masyarakat Indonesia agar upaya pembebasan ini dapat berjalan dengan baik," ujarnya.
Hingga kemarin, Retno menyatakan bahwa WNI yang ditahan kelompok Abu Sayyaf dalam kondisi baik.
"Per pukul 12.00 WIB tadi, kami masih memeroleh informasi bahwa ABK dalam kondisi baik," tuturnya.
Sejumlah upaya penyelamatan memang dikerahkan, namun belum juga membuahkan hasil. Pernyataan pemerintah juga sempat memberi harapan bagi keselamatan para WNI.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan pada Selasa (5/4/2016) lalu mengatakan, pasukan militer Filipina telah mengepung kelompok Abu Sayyaf.
Luhut berharap, pengepungan tersebut dapat berimbas positif terhadap bebasnya 10 warga negara Indonesia yang disandera oleh kelompok tersebut.
"Tiga batalion diturunkan (militer Filipina). Namun, itu urusan mereka lah karena konstitusi dia bilang tidak boleh tentara asing masuk," ujar Luhut di kantornya.
Kepala Staf TNI Angkatan Udara (AU) Marsekal Agus Supriatna kemudian juga mengatakan, personel TNI sudah ditempatkan di Filipina.
Begitu pemerintah Filipina memberi sinyal militer negara lain boleh beroperasi di wilayah mereka, para personel TNI itu akan beraksi untuk membebaskan 10 WNI yang disandera kelompok Abu Sayyaf.
"Kami sudah siap. Semua sudah di sana. Sudah dibawa. Tinggal tunggu mandat dan izin dari Filipina saja," ujar Agus di Taxi Way Echo, Halim Perdanakusuma, Sabtu (9/4/2016).
Pentingnya keselamatan sandera
Menteri Luar Negeri RI Retno LP Marsudi juga menegaskan bahwa Kemenlu telah menunjuk dua liaision officer (LO) untuk mengintensifkan komunikasi dan koordinasi dengan pihak keluarga 10 WNI yang disandera oleh kelompok Abu Sayyaf.
Penunjukkan tersebut, kata Retno, merupakan upaya yang dilakukan Kemenlu agar pihak keluarga terus mendapatkan perkembangan terkini mengenai kondisi para sandera.
(Baca: Kemenlu Intensif Berkomunikasi dengan Keluarga Sandera Abu Sayyaf)
Selain itu, Menlu juga telah melakukan pertemuan dengan Presiden Filipina. Di tempat terpisah, Retno juga bertemu Menteri Luar Negeri Filipina dan Panglima Angkatan Bersenjata Filipina.
Dalam pertemuan tersebut, Menlu berupaya mengintensifkan komunikasi dan koordinasi terkait upaya pembebasan sandera, menekankan pentingnya keselamatan para sandera dan menyampaikan apresiasi atas kerja sama dengan Filipina.
Tolak Beri Tebusan
Kelompok Abu Sayyaf meminta tebusan 50 juta peso atau sekitar Rp 14,3 miliar. Wakil Presiden Jusuf Kalla menegaskan, pemerintah tak akan memberikan uang tebusan itu.
Dia mempersilakan jika pengusaha pemilik kapal yang disandera hendak membayar uang tebusan.
Namun, dia menegaskan, pemerintah tidak akan ikut campur dalam pemberian uang tebusan. (Baca: Jusuf Kalla: Pemerintah Tak Akan Fasilitasi Pemberian Uang ke Abu Sayyaf)
"Kalau pengusahanya tentu kami tidak bisa larang, tetapi pemerintah tidak memfasilitasi untuk itu," kata JK di Jakarta, Minggu (10/4/2016).
Retno Marsudi pun menegaskan bahwa pemerintah takkan terlibat terkait pembayaran uang tebusan tersebut.
"Secara prinsip, hal ini tidak boleh dilakukan oleh negara," ujarnya.
Perlu bersabar
Meski nasib 10 WNI terkatung-katung lebih dari dua minggu, namun pakar hukum internasional Hikmahanto Juwana meminta agar masyarakat bersabar menunggu kerja pemerintah dalam upaya pembebasan tersebut.
Ia berharap pemerintah tidak takluk terhadap permintaan kelompok Abu Sayyaf.
"Sekali pemerintah takluk, kelompok lain bisa memanfaatkan situasi serupa," kata Hikmahanto.
Menurut dia, pihak Abu Sayyaf dapat melakukan memantau kepanikan warga Indonesia. Masyarakat diminta tak terlalu menekan pemerintah.
Ia menilai, penyandera justru akan senang bila masyarakat menekan pemerintah.
"Bila terus ditekan, pemerintah bisa kehilangan opsi. Pemerintah harus bekerja secara rahasia agar mereka tidak mengetahui pergerakan kita," jelas Hikmahanto.