Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wisnubrata
Assistant Managing Editor Kompas.com.

Wartawan, penggemar olahraga, penyuka seni dan kebudayaan, pecinta keluarga

Manusia dan Keserakahan, Apa yang Sebenarnya Kita Cari?

Kompas.com - 05/04/2016, 09:25 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAmir Sodikin

Alkisah ada seorang petani yang hidup bersahaja namun bahagia bersama istri dan anak-anaknya. Mereka memiliki makanan yang cukup, bisa berpakaian layak, dan tinggal di rumah yang sederhana tetapi nyaman dan penuh kehangatan.

Suatu hari, saat mencangkul di sawah, petani itu menemukan sebuah guci di dalam tanah. Guci itu ternyata berisi keping-keping uang emas. Dia segera membawa harta itu pulang dan menunjukkan pada istrinya.

Keduanya lalu menghitung emas itu, dan mendapati ada 99 keping uang emas. Petani itu memandang istrinya dan berkata, “Mengapa hanya ada 99 keping ya? Mestinya ada 100 keping.”

Istrinya mengiyakan dan mereka berdua kemudian sepakat akan mencari keping ke-100. Seharian mereka mencari di sawah dan di tempat-tempat yang diduga menjadi tempat tercecernya satu keping itu. Namun hasilnya nihil.

Sang suami kemudian bertekad menggenapi keping itu agar menjadi 100. Dia pun bekerja lebih keras dan berhemat agar bisa menukarkan uangnya dengan sekeping koin emas. Mereka mengurangi jatah makan sehari-hari, dan tidak lagi membeli pakaian baru. Semua dilakukan demi memiliki keping emas ke-100.

Namun usahanya tak kunjung mendapat hasil. Alih-alih mendapat emas, kondisi keluarganya malah menjadi buruk. Anak-anak mereka kurang makan, baju yang dikenakan lusuh, dan tiada lagi canda tawa karena si petani sibuk mencari keping terakhirnya. Yang ada di pikirannya hanyalah menggenapi keping-keping emasnya.

Dalam kondisi penasaran seperti itu, muncul niat tak terpuji di benak petani. Ia memutuskan mencuri untuk mendapatkan emasnya.

Namun akhirnya, petani itu tertangkap dan dihadapkan pada raja. Sambil menangis dia berkata pada raja bahwa ia mencuri untuk mendapatkan satu keping koin emas.

Raja tertegun sejenak, lalu bertanya, “Apakah kamu menemukan guci berisi 99 keping emas?”

“Ya,” jawab petani.

“Ketahuilah, guci itu diletakkan di sana oleh iblis untuk menggoda manusia. Iblis tahu bahwa kita tidak pernah puas. Karenanya dia memasang umpan agar kita jatuh pada keserakahan,” kata raja.

Mendengar sabda raja itu, menyesallah si petani. Ia teringat anak-anak dan istrinya yang kini kurus dan telah ia abaikan. Ia teringat hidupnya dahulu yang bahagia. Kini harta justru membuatnya merasa miskin dan tidak pernah cukup.

Petani itu pun berjanji untuk kembali pada kehidupannya semula. Mensyukuri apa yang dia miliki dan tak lagi tergoda oleh keserakahan.

Cerita di atas saya baca bertahun-tahun lalu dalam sebuah buku. Cerita itu tiba-tiba terlintas lagi saat saya membaca berita beberapa hari ini.

Ada seorang anggota DPRD yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi karena kasus suap dalam proyek reklamasi teluk Jakarta. Mereka yang diduga sebagai penyuap juga ditangkap dan dicegah. (Baca: Sanusi Ditangkap KPK)

Pada waktu yang tidak berselang lama KPK juga menangkap tiga orang terkait dugaan suap. Dua di antaranya adalah petinggi PT BA yang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Baca: Kasus Suap BUMN PT BA

 Sebelumnya, beberapa anggota Komisi V DPR RI dan pejabat negara lain juga ditangkap atas kasus suap yang diberikan untuk menggoalkan proyek pembangunan di Indonesia Timur sekaligus menyepakati agar penyuap ditunjuk sebagai pelaksana proyek.

Baca: Dugaan Suap ke Komisi V DPR

Berita lain menyebutkan adanya surat permintaan fasilitas kepada konsulat jenderal RI di Sydney, lagi-lagi oleh anggota DPRD, yang ingin pelesir ke Australia.

Lalu yang terbaru, munculnya 2.961 nama orang Indonesia yang diduga menyembunyikan uangnya di luar negeri untuk menghindari pajak. Di antaranya tentu ada nama-nama orang terkenal, pengusaha dan pejabat, yang akan membuat Anda terkejut.

Kebetulan semua orang yang terlibat dalam kasus-kasus di atas adalah golongan orang berada. Pada kasus proyek reklamasi Teluk Jakarta misalnya,  Muhammad Sanusi, Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta yang ditangkap tangan oleh KPK, biasa terlihat mengendarai mobil mewah Jaguar atau Mercedes Benz.

Jam tangan yang dikenakan Sanusi pun harganya selangit. Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama pernah menyinggung soal jam tangan Sanusi itu. Ketika itu, Ahok menyebut jam tangan Sanusi adalah Richard Mille asli dan memiliki harga sekitar Rp 1,4 miliar.

Ia setidaknya memiliki dua rumah di Srengseng yang harganya sekitar Rp 2,5 miliar.

Adapun pejabat-pejabat lain yang disebutkan dalam berita-berita di atas bukanlah orang miskin secara ekonomi. Mereka anggota DPR maupun DPRD yang penghasilannya puluhan juta per bulan.

Saya jadi bertanya-tanya, andai semua yang dikabarkan media itu benar, apakah yang mereka cari? Mereka tentu bukan orang yang kelaparan. Pakaian pasti tak kurang. Rumah pun sangat mapan. Mengapa membahayakan diri dengan bermain-main melanggar hukum?

Namun setelah lebih merenungkan, saya jadi tersadar. Orang-orang itu tidak sendiri.

Banyak sekali manusia, termasuk saya, kita, yang tidak puas dengan apa yang dimiliki. Bahkan seringkali, makin banyak harta yang dipunyai, makin besar keinginan untuk menambah lagi, persis seperti orang yang menemukan 99 keping emas.

Seorang kawan pernah bercerita. Dahulu waktu gajinya Rp 300 ribu sebulan, yang ia inginkan hanya mencoba makan di restoran cepat saji. Hanya itu. Sangat sederhana. Ia tidak memikirkan punya rumah, mobil dan lainnya.

Lalu ketika ia pindah kantor dan gajinya Rp 800 ribu, ia mulai suka membeli baju baru. Saat bergaji Rp 5 juta, seleranya meningkat dan ia mencoba memakai barang bermerk.

Kini, setelah ia memiliki rumah dan mobil sendiri, semua yang di badannya adalah barang mahal. Toh ia mengaku masih belum puas, karena ada brand-brand tertentu yang masih belum dia koleksi.

Saya pun begitu. Dulu sewaktu masih remaja, belum tentu setahun sekali bisa membeli sepatu baru. Walau begitu, satu pasang sepatu yang dipakai untuk semua kegiatan itu terasa cukup.

Kini, meski sudah memiliki berpasang-pasang sepatu untuk kegiatan dan padanan baju yang berbeda, hati rasanya masih selalu ingin memiliki model terbaru yang belum punya.

Intinya, banyaknya barang yang kita miliki belum tentu membuat kita merasa cukup.

Pertanyaannya: Salahkah rasa tak pernah puas itu? Tidak selalu. Seringkali rasa tak puas membuat kita berusaha lebih baik, bekerja lebih giat.

Yang salah adalah bila kita menggunakan cara-cara tidak benar untuk memenuhi nafsu duniawi. Bila untuk membeli jam tangan mewah kita lalu menyalahgunakan jabatan dengan menerima suap. Bila untuk menaiki mobil mewah kita menggadaikan kepercayaan rakyat.

Godaan untuk menyalahgunakan posisi dan jabatan ini tidak hanya dialami para pejabat negara. Nyaris semua profesi memiliki “celah” yang bisa dimanfaatkan untuk memenuhi nafsu keserakahan.

Shutterstock Suap.
Polisi dihadapkan pada tawaran uang damai, wartawan digoda uang transport, guru digoda pada pemberian hadiah sebagai imbalan dari murid, petugas pajak dengan uang pelicin. Semua itu pada dasarnya adalah suap.

Maka tidak adil bila kita juga melakukan hal serupa namun menuding dengan lantang ke wajah mereka. Siapa tahu yang kita lakukan sama, hanya beda dalam ukuran jumlahnya.

Lalu bagaimana agar tidak terjebak pada keserakahan?

Pemandu talkshow Oprah Winfrey pernah berkata, “Bersyukurlah atas apa yang sudah Anda miliki, maka Anda akan bahagia. Jika Anda berkonsentrasi pada apa yang tidak Anda miliki, Anda tidak akan pernah merasa cukup.”

Bagaimana kita bisa mengerti apa yang kita miliki sudah cukup? Dalam sebuah catatan, saya menemukan kalimat: “Kaya dan miskin bukan sekadar perkara berapa banyak harta yang dimiliki seseorang tetapi perkara kebebasan hati. Mereka yang memiliki kehidupan yang begitu kaya, tidak lagi terganggu oleh kepemilikan barang duniawi. “

Renungkanlah cerita ini:

Alkisah, seorang pencuri mengendap-endap masuk ke gubuk seorang pertapa. Ia mencuri sebisanya mengingat tidak banyak barang berharga yang dimiliki pertapa miskin itu.

Ketika si pencuri hendak meninggalkan gubuk, terdengar suara sang pertapa lirih memanggil: “Ssssttt….kemari. Masih ada sepasang sandal yang masih bisa kaubawa pergi.”

Pencuri itu pun berbalik, mengambil sandal sang pertapa dan beranjak pergi. Sebelum terlelap, sang pertapa menatap bulan purnama lewat jendela kamarnya sambil berbisik, “Seandainya bisa, kuberikan juga bulan itu padanya.”

Nah, sudahkah Anda bersyukur hari ini? Atau Anda masih mencari keping emas yang ke-100?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

PDI-P Tuding KPU Gelembungkan Perolehan Suara PAN di Dapil Kalsel II

PDI-P Tuding KPU Gelembungkan Perolehan Suara PAN di Dapil Kalsel II

Nasional
Demokrat Tak Ingin Ada 'Musuh dalam Selimut' di Periode Prabowo-Gibran

Demokrat Tak Ingin Ada "Musuh dalam Selimut" di Periode Prabowo-Gibran

Nasional
Maju di Pilkada Jakarta atau Jabar, Ridwan Kamil: 1-2 Bulan Lagi Kepastiannya

Maju di Pilkada Jakarta atau Jabar, Ridwan Kamil: 1-2 Bulan Lagi Kepastiannya

Nasional
Demokrat Harap Tak Semua Parpol Merapat ke Prabowo Supaya Ada Oposisi

Demokrat Harap Tak Semua Parpol Merapat ke Prabowo Supaya Ada Oposisi

Nasional
Bingung dengan Objek Gugatan PDI-P di PTUN, KPU Belum Tahu Mau Jawab Apa

Bingung dengan Objek Gugatan PDI-P di PTUN, KPU Belum Tahu Mau Jawab Apa

Nasional
Gugat Dewas ke PTUN hingga 'Judicial Review' ke MA, Wakil Ketua KPK: Bukan Perlawanan, tapi Bela Diri

Gugat Dewas ke PTUN hingga "Judicial Review" ke MA, Wakil Ketua KPK: Bukan Perlawanan, tapi Bela Diri

Nasional
Sengketa Pileg, PPP Klaim Suara Pindah ke Partai Lain di 35 Dapil

Sengketa Pileg, PPP Klaim Suara Pindah ke Partai Lain di 35 Dapil

Nasional
Pemerintah Akan Bangun Sekolah Aman Bencana di Tiga Lokasi

Pemerintah Akan Bangun Sekolah Aman Bencana di Tiga Lokasi

Nasional
KPK Pertimbangkan Anggota DPR yang Diduga Terima THR dari Kementan jadi Saksi Sidang SYL

KPK Pertimbangkan Anggota DPR yang Diduga Terima THR dari Kementan jadi Saksi Sidang SYL

Nasional
PDI-P Sebut Prabowo-Gibran Bisa Tak Dilantik, Pimpinan MPR Angkat Bicara

PDI-P Sebut Prabowo-Gibran Bisa Tak Dilantik, Pimpinan MPR Angkat Bicara

Nasional
Cak Imin Sebut Pemerintahan Jokowi Sentralistik, Kepala Daerah PKB Harus Inovatif

Cak Imin Sebut Pemerintahan Jokowi Sentralistik, Kepala Daerah PKB Harus Inovatif

Nasional
Pemerintah Akan Pastikan Status Tanah Warga Terdampak Erupsi Gunung Ruang serta Longsor Tana Toraja dan Sumbar

Pemerintah Akan Pastikan Status Tanah Warga Terdampak Erupsi Gunung Ruang serta Longsor Tana Toraja dan Sumbar

Nasional
Ahmed Zaki Daftarkan Diri ke PKB untuk Pilkada DKI, Fokus Tingkatkan Popularitas

Ahmed Zaki Daftarkan Diri ke PKB untuk Pilkada DKI, Fokus Tingkatkan Popularitas

Nasional
Sengketa Pileg, Golkar Minta Pemungutan Suara Ulang di 36 TPS Sulbar

Sengketa Pileg, Golkar Minta Pemungutan Suara Ulang di 36 TPS Sulbar

Nasional
Mendagri Sebut Biaya Pilkada Capai Rp 27 Triliun untuk KPU dan Bawaslu Daerah

Mendagri Sebut Biaya Pilkada Capai Rp 27 Triliun untuk KPU dan Bawaslu Daerah

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com