Ia mencontohkan, di antaranya kasus penculikan aktivis dan penghilangan orang secara paksa.
Kasus ini, menurut dia, bisa diselesaikan melalui jalur jalur penegakan hukum.
Penyelesaian kasus pelanggaran berat HAM melalui jalur non yudisial akan mengubur harapan korban dan keluarga korban agar penyelesaian dilakukan secara berkeadilan.
"Hingga kini pun langkah yudisial tidak pernah dilakukan," ujar Hendardi melalui keterangan tertulisnya kepada Kompas.com, Senin (21/3/2016).
Hendardi mengatakan, jika Presiden Joko Widodo tidak mampu memerintahkan Jaksa Agung tunduk pada UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM untuk menegakkan proses hukum dan rekonsiliasi yang akuntabel, sebaiknya Jokowi memenuhi janji dalam Nawa Cita dan RPJMN.
Dalam Nawa Cita disebutkan mengenai pembentukan Komite Kepresidenan Penuntasan Pelanggaran HAM masa lalu. Janji itu juga tertuang eksplisit dalam RPJMN.
"Dengan membentuk Komite tersebut, proses di luar jalur yang digagas pemerintah, setidaknya dilakukan oleh organ baru yang kredibel dan independen. Biarkan komite itu yg memberikan arah dan prakarsa penyelesaian," kata Hendardi.
Sebelumnya, Menko Polhukam Luhut Binsar Panjaitan mengatakan bahwa penyelesaian kasus pelanggaran berat HAM masa lalu akan dilaksanakan melalui jalur non yudisial atau rekonsiliasi.
Cara tersebut sudah pasti dilaksanakan mengingat penyelesaian melalui proses hukum sulit dilakukan.
Ada enam kasus berat yang akan dituntaskan, yakni peristiwa 1965, Talangsari, penembak misterius, tragedi Semanggi I dan II, tragedi Wasior-Wamena dan penghilangan aktivis secara paksa.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.