Salah satunya, perdebatan soal angka persentase yang paling sesuai sebagai syarat bagi calon perseorangan.
DPR berupaya memperkecil kesempatan calon perseorangan untuk ikut berkompetisi dalam pilkada.
Caranya, melalui revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, sulit untuk memungkiri bahwa partai politik berupaya mengurangi calon-calon perseorangan dalam pilkada.
Menurut dia, kekhawatiran terjadinya deparpolisasi menjadi salah satu alasannya.
"Di tengah persaingan politik saat ini, sulit untuk memungkiri bahwa revisi UU Pilkada digunakan untuk kepentingan politik tertentu," ujar Titi kepada Kompas.com, Selasa (15/3/2016).
Alasan lain, beberapa daerah yang akan menggelar pilkada pada 2017, dinilai menjadi wilayah perebutan kekuasaan partai politik.
Sebut saja pilkada di Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi Banten.
Awalnya, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah mengatur bahwa pasangan calon perseorangan dapat mendaftarkan diri sebagai pasangan calon gubernur/wakil gubernur apabila memenuhi syarat dukungan paling tinggi 6,5 persen dari jumlah penduduk di provinsi.
Sementara, untuk tingkat kabupaten atau kota, pasangan calon perseorangan setidaknya mendapatkan dukungan sebesar 4 persen dari jumlah penduduk di kabupaten atau kota.
Kemudian, dalam UU Nomor 8 Tahun 2015, persentase dukungan sebagai syarat bagi calon perseorangan dinaikkan menjadi lebih tinggi.
Dalam Pasal 41 ayat 1 dan 2, dijelaskan bahwa syarat pencalonan kepala daerah bagi calon perseorangan, yaitu mendapat dukungan paling sedikit 10 persen bagi daerah dengan jumlah penduduk sampai dengan 2.000.000 jiwa.
Kemudian, dukungan 8,5 persen bagi daerah dengan jumlah penduduk 2.000.000 sampai 6.000.000 jiwa.
Pada provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 6.000.000 jiwa sampai dengan 12.000.000 jiwa harus didukung paling sedikit 7,5 persen.
Selanjutnya, provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12.000.000 jiwa harus didukung paling sedikit 6,5 persen.
Putusan MK Mahkamah Konstitusi kemudian mengubah aturan persyaratan pencalonan kepala daerah bagi calon perseorangan.
Mahkamah menyatakan syarat dukungan calon perseorangan harus menggunakan jumlah pemilih dalam daftar pemilih tetap (DPT) dalam pemilu sebelumnya, bukan jumlah keseluruhan masyarakat di suatu daerah.
Hakim menyatakan, Pasal 41 ayat 1 dan 2 tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, sepanjang dimaknai bahwa perhitungan persentase dukungan didasarkan pada jumlah keseluruhan penduduk.
Dalam pertimbangannya, hakim menilai pasal tersebut telah mengabaikan prinsip keadilan sehingga mengabaikan semangat kesetaraan di hadapan hukum.
Menurut hakim, persentase syarat dukungan tidak dapat didasarkan pada jumlah penduduk, karena tidak semua penduduk punya hak pilih.
Dengan demikian, pasal tersebut dinilai menghambat seseorang memperoleh hak yang sama dalam pemerintahan.
Perberat syarat perseorangan
Komisi II DPR RI ingin memperberat syarat untuk calon independen yang akan maju dalam pemilihan kepala daerah serentak 2017 mendatang.
Syarat ini akan diperberat melalui revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
"Timbul wacana di kita bahwa UU Pilkada ini harus pada asas keadilan. Karena syarat untuk calon independen jauh dari syarat untuk parpol, kita naikkan agar tetap berkeadilan," kata Wakil Ketua Komisi II DPR Lukman Edy, saat dihubungi, Selasa.
Saat ini, ada dua model yang diwacanakan. Pertama, syarat dukungan adalah 10-15 persen dari daftar pemilih tetap atau yang kedua 15-20 persen dari daftar pemilih tetap.
Menurut Titi, usulan DPR tersebut sebenarnya tidak memiliki urgensi untuk dimasukkan dalam poin revisi UU Pilkada.
Revisi undang-undang seharusnya lebih menitikberatkan pada berbagai kekurangan dan kelemahan pada pelaksanaan pilkada sebelumnya.
"Semestinya DPR tidak berpikir parsial, hanya mempertimbangkan konstelasi politik di DKI dan Banten dalam perumusan kebijakan," kata Titi.
Menurut Titi, revisi UU Pilkada sebaiknya mencari cara agar dapat memperketat politik uang dalam pemilihan.
Kemudian, mencegah adanya uang mahar bagi partai politik dalam setiap pencalonan kepala daerah.
Selain itu, menurut Titi, dengan mempersulit calon perseorangan, DPR sama saja membatasi hak setiap warga negara untuk ikut berkontestasi dalam pilkada.
Lebih jauh, kata dia, memperketat syarat bagi calon perseorangan berpotensi lebih banyak menimbulkan keadaan calon tunggal.
Sebab, di sisi lain, partai politik dinilai tidak efektif dalam menjalankan kaderisasi untuk mengusung calon kepala daerah.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.