Ia dimutasi dari jabatan Kepala Polda Metro Jaya menjadi Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Dengan jabatan barunya, Tito akan mendapatkan kenaikan pangkat menjadi Komisaris Jenderal atau bintang tiga.
Pada hari ini, Rabu (16/3/2016), Presiden Joko Widodo dijadwalkan melantik Tito sebagai Kepala BNPT, di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, pukul 10.00 WIB.
Lulusan terbaik
Sepak terjang Tito terbilang "moncer". Lahir di Palembang, 26 Oktober 1964, Tito mengenyam sekolah dasar hingga pendidikan menengah akhir di kampung halamannya.
Kemudian, dia masuk Akademi Angkatan Bersenjata RI (AKABRI) dan lulus tahun 1987 dengan menerima bintang Adi Makayasa alias lulusan terbaik. (Baca: Tito Akan Sering Turun ke Poso Saat Menjabat Kepala BNPT)
Tito melanjutkan pendidikannya di University of Exeter, Inggris, hingga meraih gelar MA di bidang Police Studies pada tahun 1993.
Selanjutnya, Tito menempuh pendidikan di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) hingga meraih gelar Sarjana Ilmu Kepolisian tahun 1996.
Di PTIK, Tito juga mendapatkan bintang Wiyata Cendikia atau lulusan terbaik.
Setelah itu, dia juga sempat mengenyam pendidikan di Massey University Auckland di Selandia Baru dengan bidang ilmu strategi, Rajaratnam School of International Studies di Nanyang Thecnological University dengan bidang studi terorisme dan Islam radikal.
Sejumlah pendidikan singkat juga pernah dijalani Tito, di antaranya Management of Serious Crime di Australia, Post Blast Investigation Course di Louisiana Polce Academy di Amerika Serikat, Anti Terrorism Course di Singapura dan National Tactical Officers Association di Los Angles Amerika Serikat.
Dekat dengan teror
Sosok Tito identik dengan perlawanan terhadap aksi terorisme di Indonesia.
Catatan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Tito adalah Kepala Detasemen Khusus 88 Antiteror pertama pada tahun 2004. (Baca: IPW Berharap Tito Karnavian Mampu Buat ISIS Tak Berkutik)
Saat itu, Densus baru dibentuk di Polda Metro Jaya dan ia masih berpangkat Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP).
Determinasi Tito membuat jajarannya dipuji atas berbagai prestasi. Sebut saja, mulai dari melumpuhkan gembong teroris Doktor Azahari di Malang; menangkap puluhan teroris yang masuk ke dalam daftar pencarian orang (DPO) di Poso; hingga penangkapan gembong teroris Noordin Mohhammad Top, menjadi torehan prestasi Densus di bawah kepemimpinannya.
Tito sempat menduduki posisi penting lainnya di Polri. Dia pernah menjabat , di antaranya, Kepala Polda Papua, Asisten Perencanaan Kapolri (Asrena) hingga dipercaya menjabat Kepala Polda Metro Jaya sebelum dipindahtugaskan ke BNPT.
Saat menjabat Kapolda Metro Jaya, ia menjadi sosok penting atas penangkapan teroris yang terkait dengan peristiwa bom Thamrin, 14 Januari 2016 lalu.
Anggota Kompolnas Muhammad Nasser, Selasa (14/3/2016) di Jakarta, mengatakan. berbagai pengalaman Tito menunjang kiprahnya di BNPT.
"Seluruh karier dan pengalaman Tito di dalam dan luar negeri menjadi modal besar dia di jabatan barunya sekarang (Kepala BNPT)," kata Nasser.
Nasser memprediksi, Tito akan cemerlang di jabatan barunya.
Selain memiliki segudang pengalaman di bidang penanggulangan teror, dia juga dikenal memiliki komunikasi yang baik dengan masyarakat.
Baik kelompok masyarakat yang mendukung gerakan antiterorisme atau kelompok yang kontra terhadap pemberantasan terorisme dengan cara-cara yang keras.
"Kapolri atau Presiden, saya rasa tidak salah pilih orang," lanjut Nasser.
Tantangan baru Tito
Dengan tugas pokok dan fungsinya yang baru, Tito akan dihadapkan pada regulasi yang baru pula.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Terorisme, yang menjadi salah satu acuan BNPT dalam bekerja, kini tengah dibahas revisinya oleh DPR.
Pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar berpendapat, situasi ini menjadi tantangan tersendiri bagi Tito.
Di satu sisi, UU Terorisme yang baru memberikan keleluasaan bagi aparat hukum untuk menindak pelaku teror dibandingkan UU sebelumnya.
Akan tetapi, di sisi lain, publik berharap agar penindakan itu tetap dilaksanakan dalam kerangka hak asasi serta kebebasan warga sipil.
"Maka pendekatannya harus bisa seimbang antara soft approach dengan hard approach. Ingat pula, pemberantasan terorisme tidaklah selalu represif. Jika dikaji mendalam, penyebab utama munculnya terorisme itu multicausa, bukan satu sebab saja," ujar Bambang, Selasa malam.
Peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi juga berpendapat sama.
Tito harus menanggalkan cara kerjanya di Densus dan mengedepankan fungsi penanggulangan.
"Ekspektasi pemerintah dan masyarakat terhadap Tito sangat baik. Dia banyak di Densus dan tidak bisa menghindari pendekatan kekerasan. Namun, sebagai Kepala BNPT kini, setidaknya ada regulasi yang harus dipatuhi oleh seorang Tito dalam bergerak. Inilah tantangan dia," ujar Khairul.
Selain itu, menciptakan sinergi yang baik antara BNPT dengan lembaga lain, misalnya Polri, TNI, kementerian, hingga pemerintah daerah,.
Hal ini akan menjadi tantangan tersendiri bagi Tito.
"Lantas, apakah ekspektasi yang besar dari pemerintah dan masyarakat itu bisa dijawab dengan baik oleh Tito? Kita tinggal menunggu waktu saja," ujar Khairul.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.