Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Soeharto: Saya Berusaha Menyelamatkan "Prestige" Presiden Soekarno

Kompas.com - 11/03/2016, 14:15 WIB
KOMPAS.com - Presiden kedua RI, Soeharto, membantah bahwa tindakan yang dilakukannya terkait pengendalian situasi tahun 1966 di luar perintah Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) yang dikeluarkan Presiden Soekarno.

Soeharto mengatakan, ada dua tindakan penting yang diamanatkan Supersemar.

Pertama, pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI), dan kedua, mengamankan sejumlah menteri yang menurut penilaian rakyat terlibat dalam pemberontakan G 30 S/PKI atau setidak-tidaknya dianggap menghalang-halangi pembubaran PKI.

Bagi Soeharto, apa yang dilakukannya adalah untuk mengatasi situasi konflik saat itu, menyelamatkan wibawa lembaga kepresidenan dan "prestige" Presiden Soekarno. (Baca: Mantan Ajudan Soekarno: Bung Karno Dikibuli Soeharto)

"Dengan langkah pembubaran PKI itu, saya berusaha menyelamatkan lembaga kepresidenan; menyelamatkan prestige Presiden Soekarno, yang mungkin tidak sanggup melaksanakan tuntutan rakyat, karena keyakinan dan tindakan-tindakan yang telah diambilnya," kata Soeharto, dalam pernyataan 5 tahun lahirnya Supersemar, seperti dimuat dalam Harian Kompas, 11 Maret 1971.

Bahkan, pada salah satu bagian pernyataannya, Soeharto mengatakan, tindakan cepat harus diambil mengingat saat itu rakyat menghendaki pembubaran PKI.

Akan tetapi, menurut dia, tindakan yang dilakukan Soekarno berkebalikan.

"Rakyat di mana-mana segera menuntut dibubarkannya PKI dan dijatuhkan hukuman yang setimpal kepada dalang-dalang pemberontakan ini. Tetapi, perkembangan menunjukkan kenyataan yang sebaliknya: ucapan-ucapan dan tindakan Presiden Soekarno malahan membela PKI," kata Soeharto.

Versi Soeharto, situasi saat itu terjadi konflik tajam antara pimpinan nasional dan rakyat sehingga menyebabkan keadaan menjadi tak menentu. (Baca: Supersemar Versi Soeharto)

"Ribuan korban jatuh di daerah-daerah karena rakyat bertindak sendiri-sendiri, juga karena prasangka-prasangka buruk antargolongan yang selama bertahun-tahun ditanamkan oleh praktik-praktik politik yang sangat sempit," kata dia.

"Pertentangan pendapat yang makin tajam antara Presiden Soekarno dengan rakyat telah memerosotkan kewibawaan pimpinan tertinggi pemerintahan negara dan menurunkan martabat lembaga kepresidenan, yang seharusnya dihormati karena kewibawaannya tanpa melihat siapa yang menduduki jabatan presiden itu," lanjut Soeharto.

-/Arsip Kompas Bung Karno diapit dua jenderal Angkatan Darat, AH Nasution (kiri) dan Soeharto. Ketiganya tertawa lebar saat bertemu di Istana Merdeka, Jakarta, tahun 1966.

Soeharto menilai, terjadi kekosongan kepemimpinan. Kondisi ini memuncak pada tanggal 11 Maret 1966, ketika Presiden Soekarno secara mendadak meninggalkan Sidang Kabinet yang dipimpinnya.

Menurut Soeharto, tindakan Soekarno menunjukkan kepanikan seorang pemimpin.

"Keadaan demikian tidak dapat dibiarkan berlarut-larut karena akan merobek-robek tubuh bangsa kita sendiri, lebih memburukkan keadaaan ekonomi yang memang telah parah, makin membenamkan rakyat ke dalam kesengsaraan," ujar dia.

Sebagai Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, ia merasa perlu segera mengambil keputusan yang harus dapat dipertanggungjawabkan. (Baca: Jelang Lahirnya Supersemar, Soekarno Ketakutan Istana Dikepung Pasukan Liar)

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Demokrat Tak Ingin Ada 'Musuh dalam Selimut' di Periode Prabowo-Gibran

Demokrat Tak Ingin Ada "Musuh dalam Selimut" di Periode Prabowo-Gibran

Nasional
Maju di Pilkada Jakarta atau Jabar, Ridwan Kamil: 1-2 Bulan Lagi Kepastiannya

Maju di Pilkada Jakarta atau Jabar, Ridwan Kamil: 1-2 Bulan Lagi Kepastiannya

Nasional
Demokrat Harap Tak Semua Parpol Merapat ke Prabowo Supaya Ada Oposisi

Demokrat Harap Tak Semua Parpol Merapat ke Prabowo Supaya Ada Oposisi

Nasional
Bingung dengan Objek Gugatan PDI-P di PTUN, KPU Bingung Mau Siapkan Jawaban

Bingung dengan Objek Gugatan PDI-P di PTUN, KPU Bingung Mau Siapkan Jawaban

Nasional
Gugat Dewas ke PTUN hingga 'Judicial Review' ke MA, Wakil Ketua KPK: Bukan Perlawanan, tapi Bela Diri

Gugat Dewas ke PTUN hingga "Judicial Review" ke MA, Wakil Ketua KPK: Bukan Perlawanan, tapi Bela Diri

Nasional
Sengketa Pileg, PPP Klaim Suara Pindah ke Partai Lain di 35 Dapil

Sengketa Pileg, PPP Klaim Suara Pindah ke Partai Lain di 35 Dapil

Nasional
Pemerintah Akan Bangun Sekolah Aman Bencana di Tiga Lokasi

Pemerintah Akan Bangun Sekolah Aman Bencana di Tiga Lokasi

Nasional
KPK Pertimbangkan Anggota DPR yang Diduga Terima THR dari Kementan jadi Saksi Sidang SYL

KPK Pertimbangkan Anggota DPR yang Diduga Terima THR dari Kementan jadi Saksi Sidang SYL

Nasional
PDI-P Sebut Prabowo-Gibran Bisa Tak Dilantik, Pimpinan MPR Angkat Bicara

PDI-P Sebut Prabowo-Gibran Bisa Tak Dilantik, Pimpinan MPR Angkat Bicara

Nasional
Cak Imin Sebut Pemerintahan Jokowi Sentralistik, Kepala Daerah PKB Harus Inovatif

Cak Imin Sebut Pemerintahan Jokowi Sentralistik, Kepala Daerah PKB Harus Inovatif

Nasional
Pemerintah Akan Pastikan Status Tanah Warga Terdampak Erupsi Gunung Ruang serta Longsor Tana Toraja dan Sumbar

Pemerintah Akan Pastikan Status Tanah Warga Terdampak Erupsi Gunung Ruang serta Longsor Tana Toraja dan Sumbar

Nasional
Ahmed Zaki Daftarkan Diri ke PKB untuk Pilkada DKI, Fokus Tingkatkan Popularitas

Ahmed Zaki Daftarkan Diri ke PKB untuk Pilkada DKI, Fokus Tingkatkan Popularitas

Nasional
Sengketa Pileg, Golkar Minta Pemungutan Suara Ulang di 36 TPS Sulbar

Sengketa Pileg, Golkar Minta Pemungutan Suara Ulang di 36 TPS Sulbar

Nasional
Mendagri Sebut Biaya Pilkada Capai Rp 27 Triliun untuk KPU dan Bawaslu Daerah

Mendagri Sebut Biaya Pilkada Capai Rp 27 Triliun untuk KPU dan Bawaslu Daerah

Nasional
Airin Ingin Bentuk Koalisi Besar untuk Mengusungnya di Pilkada Banten

Airin Ingin Bentuk Koalisi Besar untuk Mengusungnya di Pilkada Banten

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com