Kontrol media
Rangkaian hari-hari sesudah itu, Soeharto melakukan pembubaran pasukan pengawal Presiden Tjakrabirawa. Mereka dipulangkan ke daerah masing-masing pada 20 Maret 1966.
Pemulangan itu dilakukan terhadap 4 batalyon dan satuan detasemen atau sekitar 3.000 sampai 4.000 pasukan.
"Orang-orang yang menjaga dan loyal pada Soekarno itu disingkirkan. Mereka adalah kekuatan pendukung Bung Karno. Kemudian tugasnya diserahkan pada Pomdam Jaya. Artinya ya Soeharto ingin mengurung dan mengawasi Soekarno, bukan mengamankan," tutur Asvi.
Beberapa hari kemudian, tepatnya tanggal 22 Maret 1966, Soeharto mulai melakukan kontrol terhadap pers.
Setiap pemberitaan mengenai berita politik dari RRI dan TVRI harus seizin dari dinas penerangan Angkatan Darat.
Angkatan Darat pun harus mengetahui berita apa yang akan ditulis oleh koran atau media massa lain.
Mereka punya hak untuk melarang sebuah berita diterbitkan apabila dianggap membahayakan stabilitas negara.
"Setiap berita yang ditulis oleh media massa harus sepengetahuan Angkatan Darat. Mereka harus tahu media massa menulis apa sebelum diterbitkan. Seluruh kebijakan itu dikeluarkan dalam satu paket, pada bulan Maret 1966," ucap Asvi.
Jika melihat seluruh rangkaian tindakan yang dilakukan selama bulan Maret 1966, Asvi menyimpulkan bahwa ada indikasi Soeharto melakukan 'kudeta merangkak'.
Rangkaian tindakan tersebut dilakukan secara bertahap untuk mengambil alih kekuasaan penuh dari tangan Soekarno.
Misalnya saja saat dua pengusaha, Hasjim Ning dan Dasaad, membujuk Soekarno menyerahkan kekuasaan pada Soeharto.
Upaya lain adalah demonstrasi mahasiswa menuntut Tritura yang didukung tentara, kedatangan tiga Jenderal ke Istana Bogor pada 11 Maret 1966, pembubaran PKI, hingga mengontrol pemberitaan media.
Sebuah kudeta lazimnya merupakan upaya pengambilalihan kekuasaan secara cepat dan tidak terduga. Namun di sini Soeharto melakukannya secara berangsur-angsur dan bertahap.
"Inilah paradoks kudeta yang dilancarkan Soeharto," kata Asvi.
Soeharto sendiri sudah membantah mengenai tuduhan kudeta. Dikutip dari arsip Harian Kompas, Soeharto yang saat itu menjabat presiden mengatakan bahwa Supersemar hanya digunakan untuk "membubarkan PKI dan menegakkan kembali wibawa pemerintahan.
"Saya, kata Presiden Soeharto, tidak pernah menganggap Surat Perintah 11 Maret sebagai tujuan untuk memperoleh kekuasaan mutlak. Surat Perintah 11 Maret juga bukan merupakan alat untuk mengadakan kup terselubung," demikian kutipan di Harian Kompas terbitan 11 Maret 1971.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.