Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Benarkah Soekarno Ditodong Pistol Saat Teken Supersemar?

Kompas.com - 11/03/2016, 08:33 WIB
Sabrina Asril

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Misteri Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) tak melulu soal naskah asli yang hingga kini belum ditemukan. Proses bagaimana Presiden pertama RI Soekarno meneken surat tersebut juga masih menjadi tanda tanya.

Terlebih lagi, surat itu seolah menjadi pintu bagi proses peralihan kekuasaan dari Soekarno dan Soeharto yang selanjutnya dilantik menjadi Presiden kedua RI pada tahun 1968.
 
Ajudan Soekarno, Soekardjo Wilardjito, mengungkap bahwa sang Presiden dalam kondisi tertekan saat meneken surat itu. Bahkan, dia menyebutkan bahwa jenderal Angkatan Darat bernama Maraden Panggabean menghadap Soekarno dan menodong pistol FN 46 saat menyerahkan dokumen Supersemar.

Penuturan ini disampaikan Soekardjo setelah kejatuhan Presiden Soeharto terjadi pada tahun 1998, 32 tahun setelah berkuasa.

Soekardjo menuturkan bahwa saat itu ada empat jenderal yang menghadap Presiden Soekarno. Mereka adalah para anak buah yang diutus Soeharto untuk mendapat surat mandat dari Soekarno.

Keempat jenderal itu adalah Mayjen Basuki Rahmat, M Yusuf, Brigjen Amir Mahmud, dan Maraden Panggabean. Mereka sudah siap membawa map berisi dokumen Supersemar yang disusun oleh Alamsyah dan diketik Ali Murtopo dari Badan Pusat Intelijen (BPI).

Saat menerima dokumen itu, Soekarno langsung protes.

"Lho, diktumnya kok diktum militer, bukan diktum kepresidenan!" ungkap Bung Karno seperti yang dituliskan Soekardjo dalam buku Mereka Menodong Soekarno.

Soekardjo yang ada di lokasi saat itu mengamati dengan cermat surat yang dipegang Bung Karno dan memang kop yang disodorkan tidak ada lambang Garuda Pancasila yang berbunyi Presiden Indonesia, yang ada hanyalah kop Mabes AD.

"Untuk mengubah, waktunya sangat sempit. Tandatangani sajalah paduka. Bismillah," sahut Basuki Rachmat yang diikuti oleh M Panggabean sambil mencabut pistolnya.

Soekardjo pun dengan cepat mencabut pistolnya melihat dua jenderal itu bergerak dengan senjata.

"Aku sadar bahwa saat itu keselamatan Presiden Soekarno menjadi tanggung jawabku," kata Soekardjo.

Karena tak ingin ada pertumpahan darah, Soekarno mengalah dan mau menandatangani surat itu.

"Jangan! Jangan! Ya, sudah kalau mandat ini harus kutandatangani, tetapi nanti kalau masyarakat sudah aman dan tertib, supaya mandat ini dikembalikan kepadaku," ungkap Soekarno.

Keempat jenderal lalu pamit setelah mendapat dokumen yang sudah diteken itu. Mereka kemudian menghadap kembali ke Soeharto untuk menunjukkan bahwa telah ada surat resmi peralihan kekuasaan.

Berbekal surat itu, Soeharto merasa telah memegang kuasa eksekutif untuk mengembalikan kondisi Tanah Air ke situasi normal. Dia langsung membubarkan PKI, menangkap sejumlah menteri yang terkait G30S, hingga memenjarakan siapa pun yang memiliki kaitan dengan PKI.

Dibantah

Cerita Soekardjo soal penodongan Soekarno ini menimbulkan perdebatan. Sebab, selama ini diketahui hanya ada tiga jenderal yang menghadap Soekarno, selain Maraden Panggabean.

Maraden akhirnya berbicara kepada media setelah tulisan kesaksian Soekardjo dimuat media pada Agustus 1998.

"Saya sedih memperhatikan betapa bejat moral dan mentalitas seorang mantan perwira, yang bernama Soekardjo Wilardjito, yang mengisahkan berita bohong," tutur Maraden Panggabean, yang tahun 1966 menjabat Wakil Panglima Angkatan Darat (Kompas, 28 Agustus 1998).

Menteri Panglima AD (Menpangad)-nya adalah Letjen TNI Soeharto.

Pada saat penandatanganan Supersemar, Maraden mengaku tidak ada di Bogor, tetapi ada di Markas Besar Angkatan Darat di Jakarta.

"Saya ingin menegaskan bahwa keterangan yang disampaikan mantan perwira (Soekardjo) tersebut tidak mengandung kebenaran sama sekali," ucap Maraden.

"Khusus mengenai keterangan yang mengatakan bahwa yang melakukan penodongan itu antara lain Mayjen TNI Panggabean, dengan ini saya tegaskan bahwa sikap melakukan penodongan untuk memperoleh sesuatu dengan kekerasan/paksaan tidak pernah menjadi sifat atau kepribadian saya," katanya lagi.

Bantahan kemudian juga disampaikan M Yusuf dan Soebandrio yang ada di lokasi saat Supersemar diteken.

Sejarawan Asvi Warman Adam mengaku tidak begitu memercayai cerita soal penodongan senjata ini. Namun, yang pasti, Soekarno berada dalam kondisi tertekan saat menandatangani Supersemar.

"Dipaksa dalam arti penodongan juga saya bantah karena tidak mungkin. Karena di sana ada pasukan Cakrabirawa, Ring 1, Ring 2, dan Ring 3. Tidak mungkin juga ada jenderal yang berani menodong Soekarno," kata Asvi dalam wawancara dengan Kompas.com beberapa waktu lalu.

Menurut dia, serentetan peristiwa yang menggerus kekuatan politik Soekarno-lah yang menekan sang proklamator bangsa ini menandatangani Supersemar.

Isi Supersemar itu sebenarnya hanya untuk mengamankan presiden dan keluarga serta mengembalikan kondisi keamanan Tanah Air.

Namun, kalimat "mengambil suatu tindakan yang dipandang perlu" menjadi blunder terbesar Soekarno yang akhirnya membuat dia terpaksa menyerahkan tampuk kekuasaan kepada Soeharto selamanya.

"Itu adalah blunder dari Bung Karno, seorang sipil, yang memberikan perintah tidak jelas kepada militer," ucap Asvi.

Hari ini adalah 50 tahun lahirnya Supersemar. Sebuah misteri sejarah yang hingga kini masih belum terungkap. Naskah asli Supersemar pun masih diburu untuk menjawab tanda tanya seputar peralihan kekuasaan itu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Ganjar, Sandiaga, hingga Hary Tanoe Hadiri Rakernas V PDI-P

Ganjar, Sandiaga, hingga Hary Tanoe Hadiri Rakernas V PDI-P

Nasional
Tiba di Lokasi Rakernas PDI-P, Megawati Saksikan Patung Banteng Berdarah Tertusuk Panah

Tiba di Lokasi Rakernas PDI-P, Megawati Saksikan Patung Banteng Berdarah Tertusuk Panah

Nasional
Berkaca Kasus SYL, KPK Sebut Penyelenggara Negara Terpaksa Patuhi Atasan karena Takut Jabatannya Hilang

Berkaca Kasus SYL, KPK Sebut Penyelenggara Negara Terpaksa Patuhi Atasan karena Takut Jabatannya Hilang

Nasional
Diduga Terkait Judi “Online”, Lebih dari 5.000 Rekening Diblokir, 500 E-Wallet Ditutup

Diduga Terkait Judi “Online”, Lebih dari 5.000 Rekening Diblokir, 500 E-Wallet Ditutup

Nasional
Gelar Rakernas, PDI-P Akan Evaluasi Petugas Partai di Legislatif hingga Eksekutif

Gelar Rakernas, PDI-P Akan Evaluasi Petugas Partai di Legislatif hingga Eksekutif

Nasional
Pesawat Garuda Rusak Timbulkan Efek Domino Kloter Haji Gagal Terbang, Kemenag: Kita Tegur Keras

Pesawat Garuda Rusak Timbulkan Efek Domino Kloter Haji Gagal Terbang, Kemenag: Kita Tegur Keras

Nasional
BNPT: Pemerintah Indonesia Tekankan Pentingnya Semangat Multilateralisme dalam Penanggulangan Terorisme

BNPT: Pemerintah Indonesia Tekankan Pentingnya Semangat Multilateralisme dalam Penanggulangan Terorisme

Nasional
Pemerintah Klaim Sudah Putus 1,9 Juta Akses Konten Judi Online

Pemerintah Klaim Sudah Putus 1,9 Juta Akses Konten Judi Online

Nasional
Kasus 'Vina Cirebon' Belum Tuntas, Propam Polri Diminta Turun Tangan

Kasus "Vina Cirebon" Belum Tuntas, Propam Polri Diminta Turun Tangan

Nasional
Kata Sandiaga soal Kemungkinan Maju di Pilkada Jakarta

Kata Sandiaga soal Kemungkinan Maju di Pilkada Jakarta

Nasional
PDI-P Cegah Kader 'Mencurikan Diri' ke Partai Lain Jelang Pilkada 2024

PDI-P Cegah Kader "Mencurikan Diri" ke Partai Lain Jelang Pilkada 2024

Nasional
Demokrat Pertimbangkan Usung Keponakan Prabowo di Pilkada Jakarta 2024

Demokrat Pertimbangkan Usung Keponakan Prabowo di Pilkada Jakarta 2024

Nasional
Demokrat Tak Masalah PBB Usul Yusril Jadi Menko Polhukam Kabinet Prabowo

Demokrat Tak Masalah PBB Usul Yusril Jadi Menko Polhukam Kabinet Prabowo

Nasional
Soal Polemik UKT, Fahira Idris Sebut Paradigma Pendidikan Tinggi Perlu Dibenahi

Soal Polemik UKT, Fahira Idris Sebut Paradigma Pendidikan Tinggi Perlu Dibenahi

Nasional
Kongres VI PDI-P Mundur ke 2025

Kongres VI PDI-P Mundur ke 2025

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com