JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Utama PT Grand Indonesia, Fransiskus, mangkir dari panggilan Kejaksaan Agung.
Sedianya ia diperiksa sebagai saksi untuk dugaan penyalahgunaan wewenang dalam perjanjian kontrak dengan PT Hotel Indonesia Natour. Penyidik pun akan menjadwal ulang pemeriksaan untuk Fransiskus.
"Mungkin akan kami panggil lagi," ujar Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Korupsi Kejagung Arminsyah di Gedung Bundar Kejagung, Jakarta, Selasa (1/3/2016) malam.
Namun, ia belum memastikan kapan pemeriksaan akan dilakukan. Pemeriksaan Fransiskus terbilang penting untuk perkara ini.
Arminsyah mengatakan, Fransiskus akan dicecar soal pendirian dua bangunan tambahan di lahan PT HIN yang tak tertera dalam kontrak.
"Yang kita masalahkan kenapa itu dibangun dan kenapa tidak dibayar," kata Arminsyah.
Hari ini, Kejagung juga memeriksa mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara Laksamana Sukardi. Menteri di era presiden Megawati Soekarno Putri itu dikonfirmasi soal kontrak antara PT GI dan PT HIN.
(Baca: Mantan Menteri BUMN Sebut Pembangunan Kempinsky dan Menara BCA di Luar Kontrak PT HIN)
"Beliau menjabat menteri kan sebagai pemegang saham," kata dia.
Masalah kontrak antara PT Hotel Indonesia Natour dengan PT Grand Indonesia ini diduga merugikan BUMN tersebut sebesar Rp 1,2 triliun.
(Baca: Kerja Sama dengan Grand Indonesia, BUMN Ini Berpotensi Rugi Rp 1,2 Triliun)
Awalnya, negara memiliki lahan yang saat ini terbangun kompleks Grand Indonesia dan mempercayakan lahan itu kepada PT HIN.
Tahun 2002, perusahaan milik negara tersebut melaksanakan kerja sama dengan PT Cipta Karya Bumi Indah (PT CKBI) untuk membangun lahan itu.
Kerja sama yang baru diteken pada 2004 itu menggunakan skema perjanjian bangun-guna-serah atau built-operate-transfer (BOT).
Dalam skema perjanjian itu, hanya disebut empat aset, yakni hotel bintang lima Kempinsky, pusat perbelanjaan Grand Indonesia west mall, east mall, dan fasilitas parkir.