Ketiga, barulah faktor kehadiran orang kreatif, yakni seseorang yang pikiran dan tindakannya mengubah suatu domain atau membentuk domain baru (Mihaly Csikszentmihalyi, 2013).
Kurang berkembangnya kreativitas di negeri ini disebabkan kurangnya dukungan politik terhadap reproduksi pengetahuan dan pengembangan minat-bakat, pemuliaan warisan budaya, serta kegiatan riset dan pengembangan.
Kegiatan riset berhenti sebagai kertas laporan penelitian yang dilakukan lembaga-lembaga riset negara tanpa kemampuan membangun budaya riset dan inovasi.
Negeri ini juga hampir tidak melahirkan politik kebudayaan yang dapat memperluas bidang pendukung kreativitas, seperti gedung-gedung pertunjukan, sarana-sarana tekno-estetika, studio-studio seni, pusat-pusat inkubasi, komunitas-komunitas epistemik, gugus kendali mutu, jaringan media, galeri, kurator, dan kritik seni.
Tanpa dukungan politik kreativitas yang dapat memfasilitasi pengembangan domain simbolik dan bidang pendukung, banyak anak berbakat yang lekas layu sebelum berkembang atau berhenti sebagai jago kandang.
Kreativitas merupakan jantung dari industri kreatif yang amat menentukan daya hidup bangsa di era globalisasi. Richard Florida dalam The Rise of the Creative Class (2002) melukiskan peran esensial dari kreativitas dalam perekonomian kontemporer.
Pusat pertaruhan ekonomi saat ini tidaklah seperti pada transisi dari era pertanian ke industri yang mengandalkan input fisik (tanah dan tenaga manusia), tetapi bersandarkan pada inteligensia, pengetahuan, dan kreativitas.
Kreativitas manusialah satu-satunya sumber daya yang tak terbatas. Negara-negara dengan creative capital yang tumbuh baik, seperti Finlandia, Swedia, Denmark, Belanda, Irlandia, Kanada, Australia, dan Selandia Baru, terbukti memiliki daya saing perekonomian yang lebih kuat.
Isu utamanya di sini bukanlah human capital dalam arti konvensional yang semata-mata diukur berdasarkan pendidikan formal, melainkan pada pemuliaan daya-daya kreatif lewat penyediaan ekosistem yang baik bagi pengembangan kreativitas.
Ekosistem kreativitas yang baik merupakan sinergi dari ketersediaan teknologi, talenta, dan toleransi—dengan tiadanya hambatan bagi ragam ekspresi budaya.
Adapun pelaku utama dari ekonomi kreatif (the creative economy) ini tak lain adalah anak-anak muda dengan etos kreatif kuat.
Itulah sebabnya mengapa dalam perekonomian global hari ini banyak pengusaha sukses yang tumbuh dan berkembang dari orang-orang muda.
Pada titik inilah titik genting pertaruhan Indonesia masa depan. Mengapa demikian? Sebab, bentuk piramida penduduk Indonesia pada awal milenium ini membesar di tengah, mengindikasikan besarnya jumlah pemuda berusia kerja.
Meski jumlahnya banyak, peran pemuda dalam berbagai bidang dan lapis kehidupan sosial-politik dan sosial-ekonomi nasional masih terasa lemah, seiring rendahnya kapasitas daya saing mereka dalam kompetisi antarbangsa.
Yudi Latif
Direktur Eksekutif Pusat Studi Pancasila Universitas Pancasila