Pimpinan KPK juga telah bulat bersuara untuk menolak revisi UU KPK. "Beri kami waktu. Nantilah setelah Indeks Persepsi Korupsi Indonesia di angka 50," kata Agus.
Saat ini, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) masih berada di angka 36. Dia yakin, dengan program yang akan dijalankan, IPK 50 itu bisa dicapai.
Pencegahan
Menanggapi kegalauan publik bahwa KPK akan lebih dibawa ke aspek pencegahan, Agus mengatakan, penindakan terhadap tindak pidana korupsi akan terus dia lakukan. Penyidik KPK dan peralatan sadap akan ditambah.
Namun, upaya mencegah korupsi juga dilakukan dengan membenahi tata kelola pemerintahan.
Pembenahan tata kelola pemerintahan dilakukan di enam provinsi yang gubernurnya selalu terjerat korupsi.
Agus mengemukakan, KPK akan menempatkan satgas di kementerian untuk mencegah korupsi.
"Namun, ada satu kementerian yang ketakutan sehingga belum ditempatkan di sana," ucapnya.
Meski tak mau membuka kasus yang ditangani, Agus mengaku sedang menyelidiki kasus korupsi dengan kerugian negara yang sangat besar dan bisa diterapkan hukuman mati.
"Kami lagi minta pandangan tentang frase 'kondisi tertentu' dalam UU Tindak Pidana Korupsi yang bisa dijerat dengan hukuman mati," tuturnya.
Vonis terhadap koruptor di Indonesia memang rendah dan tidak menjerakan. Pada era Orde Baru yang disebut rezim korup, pada tahun 1977, mantan Kadolog Kaltim Budiadji pernah divonis seumur hidup oleh hakim Sof Larosa untuk korupsi Rp 7,607 miliar.
KPK akan berkonsentrasi memelototi korupsi sektor sumber daya alam, energi dan migas, pangan, infrastruktur, dan perbaikan tata kelola pemerintahan.
Di sektor energi, isu korupsi di Petral, broker penjualan minyak, akan terus dikembangkan penyelidikannya.
Bangsa ini harus kuat menghadapi korupsi. Ibarat sebuah perang, perang melawan korupsi belum berhasil kita menangkan.
Seperti dikatakan penulis Amerika Serikat Eric Hoffer (1902-1982), "Kekuatan menimbulkan sedikit korupsi, tetapi kelemahan menimbulkan banyak korupsi." "Anak nakal" reformasi haruslah terus diperkuat untuk memberantas korupsi. (Budiman Tanuredjo)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.