JAKARTA, KOMPAS.com - Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Heru Susetyo, menyebutkan bahwa pada November 2006, di Indonesia telah ditandatangani prinsip untuk menjaga hak-hak mendasar terkait komunitas Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transjender (LGBT).
Kesepakatan itu tertulis dalam Yogyakarta Principles, yang ditandatangani oleh 29 pakar HAM internasional dari 25 negara. Saat itu, Indonesia hanya diwakili mendiang Rudi Muhammad Rizki, yang pernah menjadi hakim adhoc dalam pengadilan HAM.
Dokumen tersebut berisi prinsip-prinsip hak mendasar berkaitan orientasi seksual dan identitas jender.
"Ketika kita sekarang ramai tentang LGBT, 10 tahun yang lalu lahir suatu prinsip acuan tentang SOGI Rights (Sexual Orientation and Gender Identity)," ujar Heru dalam sebuah acara diskusi di Pejaten, Jakarta Selatan, Kamis (18/2/2016).
Heru menambahkan, Yogyakarta Principles sifatnya terbilang lunak (soft law), bukan aturan yang ketat dan mengikat (hard law).
Sehingga, sifatnya tidak memaksa dan tidak memerlukan ratifikasi, karena tidak seperti konvensi atau perjanjian.
Meski begitu, prinsip ini bisa jadi menjadi rujukan bagi negara-negara anggota PBB terkait orientasi seksual.
Selain itu, tidak menutup kemungkinan kelompok yang pro dengan hak-hak LGBT menjadikan prinsip ini untuk memperkuat klaim mereka.
Sedangkan bagi kalangan kontra LGBT, prinsip ini bisa bersifat mengganggu, karena memberikan legalisasi atau dasar hukum untuk legalitas hak-hak LGBT.
"Tergantung negara bersangkutan atau hak-hak politik setiap negara," kata Heru.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.