Oleh: M Ali Zaidan
JAKARTA, KOMPAS - Presiden telah memanggil Kapolri serta Jaksa Agung dan meminta agar kasus yang tengah membelit Abraham Samad, Bambang Widjojanto, dan Novel Baswedan diselesaikan.
Ungkapan "diselesaikan" itu perlu dipertegas apakah dimaksudkan dengan menghentikan perkara atau melanjutkan perkara itu ke ranah pengadilan.
Tak ada tafsir resmi dan tunggal untuk menjelaskan makna di balik ungkapan Presiden, tetapi rasionalitas pimpinan penegak hukum terutama Jaksa Agung menjadi penentu segalanya. Sekarang bola panas berada di tangan Jaksa Agung, khususnya perkara yang menyangkut Novel Baswedan (NB). Terakhir, diperoleh informasi bahwa kejaksaan telah menarik berkas perkara yang seyogianya akan disidang di pengadilan negeri, Jaksa Agung telah mengambil alih perkara itu dari tangan kejari setempat.
Alternatif yang membentang di hadapan Jaksa Agung terdiri dari tiga opsi, yakni deponering, surat ketetapan penghentian penuntutan (SKP2) atau melanjutkan perkara itu ke sidang pengadilan. Ketiga, alternatif itu memberikan kewenangan kepada Jaksa Agung untuk memberikan keputusan yang rasional dalam rangka penegakan hukum khususnya dalam konteks pemberantasan korupsi. Hal ini mengingat ketiganya merupakan pimpinan dan ikon pemberantasan korupsi. Sungguh suatu ironi apabila ketiganya yang telah dikenal luas mendedikasikan dirinya untuk membersihkan negeri ini dari korupsi harus berujung pada jerat hukum yang membelenggu kehidupannya. Mereka korban kriminalisasi penegakan hukum legalistik.
Istilah kriminalisasi atas ketiganya harus dibaca dalam konteks yang netral karena mereka tengah menghadapi tuntutan hukum untuk membuktikan apakah mereka bersalah atau tidak dalam kasus yang dipersangkakan. Namun, yang pasti, hingga saat ini ketiganya-termasuk juga yang lain-berada dalam kondisi kritis meskipun perkaranya dihentikan atau dilanjutkan.
Abraham Samad (AS) dan Bambang Widjojanto (BW) telah melewati masa kritis karena tak lagi berkedudukan sebagai pimpinan KPK, apabila kriminalisasi bertujuan agar keduanya "tersingkir" dari kepemimpinan institusi yang jadi musuh para koruptor.
Akan halnya NB, juga tengah berada di titik kritis mengingat delik yang dipersangkakan adalah tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian yang diancam dengan pidana penjara tujuh tahun, berdasarkan ketentuan hukum pidana Pasal 78 ayat (1) ke 3 bahwa tenggang waktu daluwarsa tindak pidana itu adalah dua belas tahun. Hal ini berarti bahwa Kejaksaan (Agung) berada dalam titik kritis pula ketika (akan) melimpahkan perkara itu ke pengadilan.